BAB
I
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu dan filsafat diawali dari rasa ingin
tahu , kemudian meningkatnya rasa
ingin tahu, lalu kebiasaan penalaran yang radikal dam divergen yang kemudian
terbagi dua yaitu berkembangnya logika (Deduktif) dan Induktif, selanjutnya
gabungan logika deduktif dan induktif yaitu proses Logika, hipothetico dan
verifikasi, terakhir adalah berkembangnya kreativitas.
Ilmu merupakan
pengetahuan yang di dapatkan lewat
metode ilmiah. Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik perlu sarana
berfikir, yang memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan
cermat. Sarana ilmiah pada dasarnya
merupakan alat membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus
ditempuh. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita
melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu
dimaksudkan untuk mendapatkan pengehahuan yang memungkinkan untuk bisa
memecahkan masalah sehari-hari.
Ditinjau dari pola berfikirnya, maka maka ilmu merupakan
gabungan antara pola berfikir deduktif dan berfikir induktif, untuk itu maka
penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika
induktif .Penalaran ilmiah mengharuskan
kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan
pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan.
Kemampuan berfikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana
berfikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah kea rah penguasaan itu adalah
mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berfikir tersebut dalam keseluruhan
berfikir ilmiah tersebut.
Berdasarkan pemikiran ini, maka tidak sukar untuk
dimengerti mengapa mutu kegiatan keilmuan tidak mencapai taraf yang memuaskan
sekiranya sarana berfikir ilmiahnya memang kurang dikuasai
Untuk dapat melakukan
kegiatan ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika,
matematika dan statistik.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengetian
“Berpikir
merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan
serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang
akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan” Oleh karena
itu, proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan
diperlukan sarana tertentu yang disebut dengan sarana berpikir ilmiah.
Sarana
berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai
langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya juga diperlukan
sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan
dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik.
2.
Sarana
Berfikir Ilmiah
A.
Bahasa
Bahasa memegang peranan
tenting dan suatu hal yang lazim dalam hidup dan kehidupan manusia.Kelaziman
tersebut membuat manusia jarang memperhatiakan bahasa dan menggapnya sebagai
suatu hal yang bisa, seperti bernafas dan berjalan. Padahal bahasa mempunyai
pengaruh-pengaruh yang luar biasa dan termasuk yang membedakan manusia dari
ciptaan lainnya. Dengan kemampuan kebahasaanakan terbentang luascakrawala
berpikir seseorang dan tiada batas dunia baginya.hal ini sesuai dengan
pernyataan wittgenstein yang menyatakan: ”batas bahasaku adalah batas duniaku”.
Melalui pernyatan iniorang orang yang berpikir(homo sapien)akan bertanya dalam
diri apa itu bahasa? Apa itu fungsinya?Bagaimana peran bahasa dalam berpikir
ilmiah?
Banyak ahli bahasayang
telah memberikan uraiannya tentang pengertiannya tentang pegertian bahasa. Sudah
barang tentu berbeda-beda cara menyampikannya.Bloch and Trager mengatakan bahwa
a language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which asocial
group cooperates (bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer
yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk komunikasi).
Batasan di atas
memerlukan sedikit penjelasan agar tidak terjadi salah paham.Oleh karena
itu;perlu diteliti setiap unsur yang terdapat didalamnya:
1. Simbol-simbol
Simbol-simbol
berarti things that stand for other things atau sesuatu yang menyatakan sesuatu
yang lain.
a.
Simbol-simbol
vocal
Simbol-simbol
yang membangun ujaran manusia adalah simbol-simbol vocal,yaitu bunyi-bunyi yang
urut-uritan bunyinya dihasilkan dari kerja sama berbagai organ atau alat tubuh
dengan sistim pernapasan.
b.
Simbol-simbol
vocal arbitrer
Istelah
arbitrer di sini bermakna “mana suka” dan tidak perlu ada hubungan yang valid
secara filosofis antara ucapan lisan dan arti yang dikandungnya.
B.
Matematika
Matematika adalah
bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingi
disampaikan.Lambang-lambang matematika bersifat “Artifisial” yang baru mempunyai arti setelah
sebuah makna diberikan kepadanya.Bila
kita mempelajari kecepatan jalan kaki seseorang anak maka obyek “kecepatan jalan kaki seorang anak” dapat
diberi lambang dengan x. dalam hal ini x
hanya mempunyai satu arti yaitu kecepatan jalan kaki seorang anak. Bila dihubungkan dengan dengan obyek
lain umpanya “jarak yang ditempuh seoang
anak” (y). maka dapat dibuat lambang hubungan tersebut sebagai z = y/x, di mana z melambangkan waktu
berjalan kaki seorang anak.
Pernyataan z = y/x kiranya jelas : Tidak mempunyai konotasi emosional
dan hanya mengemukakan informasi mengenai
hubungan x, y dan z, artinya matematika
mempunyai sifat yang jelas, spesifik dan informative dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat emosional.
1.
sifat
kuantitatif dari matematika
Dengan bahasa
verbal bila kita membandingkan dua obyek yang berlainan umpamanya Gajah dan
semut, maka hanya bisa mengatakan gajah lebih besar dari semut, kalau ingin
menelusuri lebih lanjut berapa besar gajah dibandingkan dengan semut, maka kita mengalami kesukaran dalam
mengemukakan hubungan itu, biia ingin mengetahui secara eksak berapa besar
gajah bila dibandingkan dengan semut, maka dengan bahasa verbal tidak dapat
mengatakan apa-apa.
Matematika mengembangkan
konsep pengukuran, lewat pengukuran dapat mengetahui dengan tepat berapa
panjang. Bahasa verbal hanya mampu
mengemukakan
pernyataan yang bersifat kualitatif, kita mengetahui bahwa sebatang logam bila
dipanaskan akan memanjang, tetapi tidak bisa mengatakan berapa besar
pertambahan panjang logamnya.
Untuk itu
matematika mengembangkan konsep pengukuran, lewat pengukuran, maka dapat
mengetahui dengan tepat berapa panjang sebatang logam dan berapa pertambahannya
bila dipanaskan. dengan mengetahui hal ini maka pernyataan ilmiah yang berupa
pernyataan kualitatif seperti sebatang logam bisa dipanaskan akan memanjang:
dapat diganti dengan pernyataan matematika yang lebih eksak umpamanya :
P1 = P0 (1 +ñ)
P1 pajang logam
pada temperature t. P0 merupalam panjang
logam pada temperature nol dan n
merupakan koefesiansi pemuai logam tersebut.
matematika
adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin
kita sampaikan
2.
Matematika
Sebagai Sarana Berfikir Deduktif
Menalar secara
induksi dan analogi membutuhkan pengamatan dan bahkan percobaan, untuk
memperoleh fakta yang dapat dipakai sebagar dasar argumentasi. Tetapi
pancaindera kita adalah terbatas dan tidak teliti. Tambahan lagi, meskipun
fakta yang dikumpulkan untuk tujuan induksi dan analogi itu masuk akal namun
metode ini tidak memberikan suatu kesimpulan yang tidak dapat dibantah lagi.
Umpamanya, meskipun sapi makan rumput dan babi serupa dengan sapi namun adalah
tidak benar bahwa babi makan rumput.
Untuk menghindari
kesalahan seperti di atas, ahli matematika mempergunakan kerangka berfikir yang
lain. Umpamanya dia mempunyai fakta bahwa x – 3 = 7 dan bermaksud untuk mencari
nilai x tersebut. Dia melihat bahwa jika angka 3 ditambahkan kepada kedua ruas
persamaan tersebut maka dia akan memperoleh bahwa x = 10. Pertanyaannya adalah
bolehkah dia melakukan langkah ini ? untuk menjawab hal tersebut maka
pertama-tama dia harus mengetahui bahwa sebuah persamaan tidak berubah jika
kepada kedua ruas persamaan tersebut ditambahkan nilai yang sama. Hal ini
berarti bahwa dengan menambahkan angka 3 kepada kedua belah persamaan tersebut,
dia takkan mengubah harga persamaan tadi. Berdasarkan hal ini maka dia
berkesimpulan bahwa langkah yang dilakukannya ternyata dapat dipertanggungjawabkan.
Cara berfikir yang dilakukan disini adalah deduksi. Seperti pada contoh di
atas, dalam semua pemikiran deduktif, maka kesimpulan yang ditarik merupakan
konsekuensi logis dari fakta-fakta yang sebelumnya telah diketahui. Disini,
seperti juga pada fakta-fakta yang mendasarinya, maka kesimpulan yang ditarik
tak usah diragukan lagi.
C.
Statistik
Statistik berasal dari
bahwa latin, yaitu status yang berarti Negara yang memiliki persamaan arti
dengan state dalam bahasa Inggris yang berarti negara atau untuk menyatakan
hal-hal yang berhubungan dengan ketatanegaraan. Pada awalnya statistik hanya
berkaitan dengan sekumpulan angka mengenai penduduk suatu daerah atau negara
dan pendapatan masyarakat.Pada mulanya kata statistik diartikan sebagai kumpulan
bahan keterangan (data ) baik yang berwujud angka maupun yang bukan angka, yang
mempunyai arti penting dan kegunaan yang besar bagi negara.
Statika merupakan
sekumpulan metode untuk membuat keputusan dalam bidang keilmuan yang melalui
pengujian-pengujian yang berdasarkan kaidah-kaidah statistik. Bagi masyarakat
awam kurang terbiasa dengan istilah statistika, sehingga perketaan statistik
biasanya mengandung konotasi berhadapan dengan deretan angka-angka yang
menyulitkan, tidak mengenakan, dan bahkan merasa bingung untuk membedakan
antara matematika dan statistik. Berkenaan dengan pernyataan di atas, memang
statistik merupakan diskripsi dalam bentuk angka-angka dari aspek kuantitatif
suatu masalah, suatu benda yang menampilkan fakta dalam bentuk ”hitungan” atau
”pengukuran”.
Statistik selain
menampilkan fakta berupa angka-angka, statistika juga merupakan bidang keilmuan
yang disebut statistika, seperti juga matematika yang disamping merupakan
bidang keilmuan juga berarti lambang, formulasi, dan teorema. Bidang keilmuan
statistik merupakan sekumpulan metode untuk memperoleh dan menganalisis data
dalam mengambil suatu kesimpulan berdasarkan data tersebut. Ditinjau dari segi
keilmuan, statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan
dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan
maupun pengkuran . Maka, Hartono Kasmadi, dkk., mengatakan bahwa, ”statistika
[statistica] ilmu yang berhubungan dengan cara pengumpulan fakta, pengolahan
dan menganalisaan, penaksiran, simpulan dan pembuatan keputusan.
Prof. Dr. Sudjana,
M.A., M.Sc. mengatakan ststistik adalah pengetahuan yang berhubungan dengan
cara-cara pengumpulan data, pengolahan penganalisisannya, dan penerikan
kesimpulan berdasarkan kumpulan data dan peanganalisisan yang dilakukan.
Kemudian J.Supranto memberikan pengertian ststistik dalam dua arti. Pertama
statistik dalam arti sempit adalah data ringkasan yang berbentuk angka
(kuantitatif). Kedua statistik dalam arti luas adalah ilmu yang mempelajari
cara pengumpulan, penyajian dan analisis data, serta cara pengambilan
kesimpulan secara umum berdasarkan hasil penelitian yang menyeluruh. Secara
lebih jelas pengertian statistik adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk
beluk data, yaitu tentang pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penafsiran,
dan penarikan kesimpulan dari data yang berbentuk angka-angka.
Statistika digunakan
untuk menggambarkan suatu persoalan dalam suatu bidang keilmuan. Maka, dengan
menggunakan prinsip statistika masalah keilmuan dapat diselesaikan, suatu ilmu
dapat didefinisikan dengan sederhana melalui pengujian statistika dan semua
pernyataan keilmuan dapat dinyatakan secara faktual. Dengan melakukan pengjian
melalui prosedur pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis yang
terkandung fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima keabsahan sebagai
kebenaran, tetapi dapat juga sebaliknya.
1.
Sejarah
Perkembangan Statistika
Sekitar tahun 1645,
Chevalier de Mere, seorang ahli matematika amatir, mengajukan beberapa
permasalahan mengenai judi kepada seorang ahli matematika Prancis Blaise Pascal
(1623-1662 ).Tertarikdengan permaslahan yang berlatar belakang teori ini dan
kemudian mengadakan korespondensi dengan ahli matematika Prancis lainnya Piere
de Fermat (1601 – 1665 ), dan keduanya mengembangkan cikal bakal teori peluang.
Peluang yang merupakan
dasar dari teori statistika, merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam
pemikiran Yunani kuno, Romawi bahkan Eropa dalam abad pertengahan. Teori
mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang di kembangkan
sarjana muslim namun bukan dalam lingkup teori peluang. Begitu dasar-dasar
peluang ini dirumuskan maka dengan cepat bidang telaahan ini berkembang.
Statistika berakar dari
teori peluang, Descartes, ketika mempelajari hukum di Universitas Poitiers
antara tahun 1612 sampai 1616, juga bergaul dengan teman-teman yang suka
berjudi. Sedangkan, pendeta Thomas Bayes pada tahun 1763 mengembangkan teori
peluang subyektif berdasarkan kepercayaan seseorang akan terjadinya suatu
kejadian. Teori ini berkembang menjadi cabang khusus dalam statestika sebagai
pelengkap teori peluang yang bersifat subyektif. Peluang yang merupakan dasar
dari teori statistika, merupakan konsep yang tidak dikenal dalam pemikiran
Yunani Kuno, Romawi, bahkan Eropa pada abad pertengahan. Sedangkan teori
mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan
sarjana Muslim, namun bukan dalam lingkup teori peluang .
2.
Statistika
dan Berpikir Induktif
Statistika merupakan
bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala
dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengukuran. Dengan
statistika kita dapat melakukakn pengujian dalam bidang keilmuan sehingga
banyak masalah dan pernyataan keilmuan dapat diselesaikan secara faktual.
Pengujian statistika
adalah konsekuensi pengujian secara emperis. Karena pengujian statistika adalah
suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis. Artinya,
jika hipotesis terdukung oleh fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima
sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika bertentangan hipotesis itu ditolak”. Maka,
pengujian merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mencapai simpulan yang
bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Dengan demikian
berarti bahwa penarikan simpulan itu adalah berdasarkan logika induktif.
Pengujian statistik
mampu memberikan secara kuantitatif tingkat kesulitan dari kesimpulan yang
ditarik tersebut, pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat sederhana,
yakni makin besar contoh yang diambil makin tinggi pula tingkat kesulitan
kesimpulan tersebut. Sebaliknya, makin sedikit contoh yang diambil maka makin
rendah pula tingkat ketelitiannya. Karakteristik ini memungkinkan kita untuk
dapat memilih dengan seksama tingkat ketelitian yang dibutuhkan sesuai dengan
hakikat permasalahan yang dihadapi. ...Selain itu, statistika juga memberikan
kesempatan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan kesulitan antara
dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam
suatu hubungan yang bersifat emperis.
Selain itu, Jujun S. Suriasumantri juga
mengatakan bahwa pengujian statistik mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan
yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Umpamanya jika
kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah
tempat, maka nilai tinggi rata-rata yang dimaksud merupakan sebuah kesimpulan
umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun di tempat itu. Dalam hal
ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif.
Logika induktif,
merupakan sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah
dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh
jadi. Logika ini sering disebut dengan logika material, yaitu berusaha
menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan.
Oleh karena itu kesimpulan hanyalah kebolehjadian, dalaam arti selama
kesimpulan itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar.
Logika induktif tidak
memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis
tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan dan kesimpulannya mungkin benar mungkin
juga salah. Misalnya, jika selama bulan November dalam beberapa tahun yang lalu
hujan selalu turun, maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan November
tahun ini juga akan turun hujan. Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini
hanyalah mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun
hujan”. Maka kesimpulan yang ditarik secara induktif dapat saja salah, meskipun
premis yang dipakainya adalah benar dan penalaran induktifnya adalah sah, namun
dapat saja kesimpulannya salah. Sebab logika induktif tidak memberikan
kepastian namun sekedar tingkat peluang.
Penarikan kesimpulan
secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya
kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum.
Jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di
Indonesia, umpamanya, bagaimana caranya kita mengumpulkan data sampai pada
kesimpulan tersebut. Hal yang paling logis adalah melakukan pengukuran tinggi
badan terhadap seluruh anak 10 tahun di Indonesia. Pengumpulan data seperti ini
tak dapat diragukan lagi akan memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata
anak tersebut di negara kita, tetapi kegiatan ini menghadapkan kita kepada
persoalan tenaga, biaya, dan waktu yang cukup banyak. Maka statistika dengan
teori dasarnya teori peluang memberikan sebuah jalan keluar, memberikan cara
untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya
sebagian dari populasi. Jadi untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur 10
tahun di Indonesia kita tidak melakukan pengukuran untuk seluruh anak yang
berumur tersebut, tetapi hanya mengambil sebagian anak saja.
Untuk berpikir induktif
dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai
pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.Searles [1956],
diperlukan proses penalaran sebagai berikut: Langkah pertama, mengumpulan
fakta-fakta khusus. Metode khusus yang digunakan observasi [pengamatan] dan
eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, eksperimen terjadi
untuk membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari. Langkah kedua, dalam induksi ialah perumusan
hipotesis. Hipotesis merupakan dalil sementara yang diajukan berdasarkan
pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi peneliti lebih lanjut.
Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat sebagai berikut: harus dapat diuji
kebenarannya, harus terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan
konsekuensinya, harus runtut dengan dalil-dalil yang dianggap benar, hipotesisi
harus dapat meenjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan. Langkah ketiga, dalam
hal ini penalaran induktif ialah mengadakan verifikasi. Hipotesis adalah
sekedar perumusan dalil sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan
terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk
diambil kesimpulan umum. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat
ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yakni makin banyak bahan
bukti yang diambil makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut.
Demikian sebaliknya, makin sedikit bahan bukti yang mendukungnya semakin rendah
tingkat kesulitannya. Memverifikasi adalah membuktikan bahwa hipotesis ini
adalah dalil yang sebenarnya. Ini juga mencakup generalisasi, untuk menemukan
hukum atau dalil umum, sehingga hipotesis tersebut menjadi suatu teori. Langkah keempat, teori dan hukum ilmiah, hasil
terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah untuk sampai pada hukum
ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu
dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal diamati, atau
dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan
berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk
diterapkan bagia semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya
dengan hipotesis adalah lebih tinggi.
Untuk itu, statistika
mempunyai peran penting dalam berpikir induktif. Bagaimana seseorang dapat
melakukan generalisasi tanpa menguasai statistik? Memang betul tidak semua
masalah membutuhkan analisis statistik, namun hal ini bukan berarti, bahwa kita
tidak perduli terhadap statistika sama sekali dan berpaling kepada cara-cara
yang justru tidak bersifat ilmiah.
Dari berbagai uraian yang dikemukakan di
atas, penulis mencoba memberikan beberapa ringkasan sebagai berikut :
1. Dalam
kegiatan atau kemampuan berpkir ilmiah yang baik harus menggunakan atau
didukung oleh sarana berpkir ilmiah yang baik pula, karena tanpa menggunakan
sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melakukakan kegiatan berpikir
ilmiah dengan baik.
2. Cara
berpikir ilmiah dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan logika induktif dan
logika deduktif.
3. Penggunaan
statistika dalam proses berpikir ilmiah, sebagai suatu metode untuk membuat
keputusan dalam bidang keilmuan yang berdasarkan logika induktif. Karena
statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif.
4. Berpkir
induktif, bertitik tolak dari sejumlah hal-hal yang bersifat khusus untuk
sampai pada suatu rumusan yang bersifat umum sebagai hukum ilmiah.
D.
Logika
Logika adalah sarana
untuk berfikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu,
berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti
setengah tidak boleh lebih besar daripada satu. logika yunani diterjemahkan oleh
kaum muslimin kedalam bahasa Arab. Kegiatan ini mendapatkan respon yang berbeda
– beda dari tokoh – tokoh besar islam. Diantaranya Ibnu Salih dan Imam NAwawi
berpendapat bahwa mengharamkan untuk mempelajari ilmu logika secara mendalam.
Sedangkan imam Ghazali beranggapan baik dan menganjurkannya. Selain itu, Jumhur
Ulama memperbolehkan bagi orang – orang yang cukup akalnya dan kokoh imannya.
Masih banyak lagi tokoh besar muslim yangt mempelajari ilmu ini secara khusus
dan mendalam yang sampai mengadakan penyelidikan kaidah – kaidah dalam
kehidupan sehari – hari untuk diuji salah benarnya.
Lambat laun logika
menjadi semakin dangkal dan sederhana. Akan tetapi, pada masa ini masih
mengembangkan pemikiran logika Aristoteles Pada abad ke XIII sampai abad XV
dikenal sebagai logika modern yang dirintis oleh Petrus Hispanus, Roger Barcon,
raymundus Lullus, Wilhelm Ocham, George Boole, Bertrand Russell, G. Frege.
Pemikiran logika modern sangat berbeda dengan pemikiran Aristoteles ( logika
tradisional ). Pada masa ini, Raymundus Lullus mengemukakan metode Ars Magna,
yaitu semacam aljabar pengertian dengan maksud membuktikan kebenaran –
kebenaran tertinggi.
Abad ke XVII dan XVIII,
Fracon Bacon mengemukakan metode Induktif. W. Leibnitz, menyusun logika aljabar
untuk menyederhana pemikiran akal dan memberi kepastian. Emanuel Kant,
menemukan logika Trasedental yaitu logika yang menyelidiki bentuk – bentuk
pemikiran yang mengatasi batas pengalaman.
1.
Asas
– asas Pemikiran
a) Asas
Identitas
Asas yang menunjukkan sesuatu itu adalah dirinya
sendiri. Pernyataan yang diungkapkan apa adanya. Jika pernyataan itu benar,
begitu juga sebaliknya.
b) Asas
Kontradiksi
Asas yang menunjukkan suatu pernyataan tidak mungkin
dalam keadaan benar atau salah sekaligus. Pernyataan itu diungkapkan dengan salah
satu keadaan saja.
c)
Asas
Penolakan Kemungkinan Ketiga
Definisi yang baik adalah jami’ wa mani (menyeluruh
dan membatasi). Halini sejalan dengan kata definisi itu sendiri, yaitu devinite
(membatasi) salah satu contoh yang sering diungkapkan adalah manusia , binatang
yang berakal. Binatang dalah genus sedangkan berakal adalh diferensiasi,
pembeda utama manusia dengan makluk lain
BAB
III
PENUTUP
“Berpikir merupakan
sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian
gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai
pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan” Oleh karena itu, proses
berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan diperlukan
sarana tertentu yang disebut dengan sarana berpikir ilmiah.
Sarana berpikir ilmiah
merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus
ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya juga diperlukan sarana tertentu pula.
Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan
kegiatan berpikir ilmiah yang baik.
Bagi seorang ilmuan
penguasaan sarana berfikir ilmiah merupakan suatu keharusan, karena tanpa
adanya penguasaan sarana ilmiah, maka tidak akan dapat melaksanakan kegiatan
ilmiah dengan baik. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat untuk membantu
kegiatan ilmiah dengan berbagai langkah yang harus ditempuh.
Bahasa ilmiah berfungsi
sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan fikiran seluruh proses
berfikir ilmiah. Logika dan matematika mempunyai peranan penting dalam berfikir
deduktif sehingga mudah diikuti dan mudah dilacak kembali kebenarannya. Sedang
logika dan statistika mempunyai peranan penting dalam berfikir induktif dan
mencari konsep-konsep yang berlaku umum. Namun dizaman sekarang komputer jaga
bisa dimasukan sebagai sarana berfikir ilmiah, karena dalam komputer semua ada,
dan apa yang kita inginkan hmapir seluruhnya dapat dijawab oleh komputer.
Berpikir ilmiah, dan
kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya yang lebih luas, bertujuan memperoleh
pengetahuan yang benar atau pengetahuan ilmiah. Untuk mencapai tujuan tersebut,
kita manusia jelas memerlukan sarana atau alat berpikir ilmiah. Sarana ini
bersifat niscaya, maka aktivitas keilmuan tidak akan maksimal tanpa sarana
berpikir ilmiah tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Tafsir.1992. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Jujun.1993.Filsafat
Ilmu, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.
Nana Sudjana.1991.Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung:Sinar Baru.
Endang Saefuddin Anshari.1991.Ilmu, filsafat dan Agama, Bina Ilmu.
Bahtiar, Amsal.2009. Filsafat Ilmu.Jakarta:Rajawali Press
Suria Sumantri, Jujun.S.2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:Pustaka Sinar
Harapan.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar yea :