BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bahasa Jawa terdapat beberapa kata yang memiliki kaitan antara
makna dan bunyinya. Bunyi-bunyi, baik konsonan maupun vokal, yang terangkai
menimbulkan nuansa makna tertentu. Rangkaian bunyi yang membentuk satuan-satuan
lingual itu memiliki keterhubungan satu sama lain. Keterhubungan itu tidak
bebas, tetapi terikat dengan unsur atau bunyi-bunyi yang membentuknya. Fenomena
tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu cerminan budaya Jawa melalui
bahasa. Sebagai contoh ditampilkan kata-kata berikut: bedhol [b|DOl] ‘cabut’, bedhel [b|Del]
‘bedah’serta pethil [p|Til]
‘lepas’, puthul [puTUl] ‘lepas’, pothol [pOTOl]
‘lepas’. Secara sepintas, kata-kata itu hampir mirip. Jika dicermati,
masing-masing memiliki perbedaan walaupun ada keterkaitan konsep makna
pokoknya. Perbedaannya bunyi vokal yang menyertai memberikan cerminan variasi
makna. Keterkaitan makna dan bunyi yang dikatakan bahwa bunyi-bunyi tersebut
memiliki sifat ikonis. Ternyata, dalam bahasa Jawa, rangkaian konsonan tertentu
disertai rangkaian vokal tertentu dapat memberi variasi makna dengan makna
pokok tertentu, atau bahkan berdekatan maknanya.
Perbedaan bunyi vokal dalam
rangkaian konsonan tertentu dapat melahirkan sejumlah konsekuensi terhadap
makna. Konsekuensi itu dapat berupa penonjolan kualitas, kuantitas, dan
korespondensi yang ikonis. Sehubungan dengan tersebut, dalam tulisan
dibicarakan tentang keikonikan pada satuan lingual yang berunsur konsonan [b,D,l]
dan [p,T,l] yang disertai dengan perbedaan vokalnya yang
memiliki keterkaitan makna.
Pembicaraan satuan lingual yang
berunsur [b,D,l] dan [p,T,l] dengan perbedaan vokalnya dapat meluas sampai
bentuk-bentuk [br,D,l], [br,nD,l], [D,D,l], [pr,T,l], dan [T,T,l]. Akan tetapi, pada tulisan ini bahasan
dibatasi pada satuan lingual ini bahasan dibatasi pada satuan lingual yang
berurusan [b,D,l] dan [p,T,l] yang memiliki kemiripan makna. Untuk bentuk
yang lain tersebut akan disinggung sepanjang ada kemiripan makna.
BAB II
PEMBAHASAN
A TEORI
DAN METODE
1. Landasan Teori
Pembahasan ini berkaitan dengan keikonikan yang memasalahkan hubungan
bentuk lingual dengan sesuatu yang diacunya. Seperti dijelaskan oleh Sudaryanto
(1989: 114) bahwa ikonisitas (iconicity)
itu digunakan untuk menyebutkan tanda yang bentuk fisiknya memiliki kaitan erat
dengan sifat khas dari apa yang diacunya (bandingkan dengan Kridalaksana, 1982:
63). Lebih lanjut, dikatakan bahwa ikonisitas diartikan sebagai perlambangan,
maksudnya perlambangan atas bentuk-bentuk ikon (Sudaryanto dan Bakdi Sumanto,
193: 63; periksa Verhaar 1985: 21). Hal semacam itu disebut sebagai fonestem
(Subroto 1981: 12). Dalam hal ini, nilai makna dari bunyi berkaitan dengan
besar kecilnya atau berat ringannya suatu benda, luas sempitnya suatu volume,
ataupun jauh dekatnya sesuatu yang dilihat oleh si pembicara.
Sehubungan dengan nilai makna
sebagai konsekuensi wujud bunyi, pemahaman tentang fonetik dipakai sebagai alat
untuk mencermati data. Fonetik yang erat dengan keikonikan adalah fonetik
altikulatoris, yaitu fonetik yang berkaitan dengan bunyi-bunyi bahasa menurut
cara yang dihasilkannya dengan alat-alat bicara (Verhaar 1996: 27; Crystal
1991: 169; Kridalaksana (1982: 44). Bunyi-bunyi bahasa itu dibedakan menjadi
dua, yaitu bunyi yang “segmental” dan “suprasegmental”. Berkaitan dengan pembicaraan
ikonisitas, bunyi segmental bunyi sebagai segmen itulah yang dicermati. Bunyi
sebagai segmen adalah bunyi menurut pola urutannya di dalam kata dari yang
pertama sampai dengan yang terakhir, atau “dari kiri ke kanan” (Verhaar 1996:
27).
Satuan lingual yang ikonis memiliki
makna konsep. Yang dimaksud dengan makna konsep yaitu makna denotasional, atau
makna referensial, atau makna proporsional (Keraf 1984: 62). Makna konseptual
itu merupakan esensi bahasa (Pateda, 1989: 63).
Di dalam mencermati perbedaan makna
satuan lingual ikonis yang satu dengan yang lain dibantu dengan analisis
komponensial. Dikatakan oleh Nida (1975) bahwa analisis komponen dapat
dilakukan terhadap leksem-leksem dalam suatu medan dengan menguraikannya sampai komponen
makna sekecil-kecilnya. Dalam pembicaraan ini kata-kata (-alih-alih leksem-)
ikonis yang berunsur konsonan [b,D,l] dan [p,T,l] beserta bentuk-bentuk variasinya dipandang
berada dalam suatu medan .
Adapun yang disebut komponen makna yaitu elemen-elemen makna yang merupakan
ciri makna leksem yang bersangkutan (Muhajir 1984: 82, Crystal 1991: 69).
2. Metode
Untuk memperoleh data digunakan metode simak dengan teknik catat
(Sudaryanto, 1993: 133-135). Penyimakan dilakukan pada tuturan, baik lisan
maupun tulis, yang memuati saran-saran lingual ikonis seperti yang telah
disebutkan.
Di dalam analisis digunakan metode
padan subreferensial dan metode agih (Sudaryanto 1933: 13-16). Metode padan
referensial digunakan untuk mengamati referen dan pemaknaan bunyi-bunyi yang
ikonis. Sarana bantu pemaknaan yaitu kamus Bausastra Jawa. Pemaknaan itu
dituangkan dalam sebuah matriks, yang merupakan deskripsi pemilikan komponen
makna. Di samping itu, dilakukan pengetesan konteks melalui penutur bahasa
Jawa. Metode agih digunakan di dalam lingkungan tuturan atau bentuk bahasa yang
bersangkutan, dengan teknik substitusi di dalam kaitannya dengan pengertian
urutan bunyi.
3. PEMBAHASAN
Pembahasan ini
berangkat dari data berikut.
(1) Harna mbedhol telo.
‘Harna mencabut ketela.’
(2) Transmigran sing nyang Irian kuwi
transmigran bedhol desa.
‘Transmigran yang ke Irian itu transmigran pindah satu
desa.’
(3) Wulune sulak dha bodhol.
‘Bulu kemucingnya rontok.’
(4) Benange bedhel banget.
‘Benangnya sangat mudah putus.’
(5) Jarane bedhal.
‘Kudanya lepas tak terkendali.’
(6) Wetenge bedhel.
‘Perutnya bedah.’
(7) Lutfi wis
budhal sekolah.
‘Lutfi sudah berangkat sekolah.’
(8) Sirahe pethal karo awak.
‘Kepalanya terlepas dari tubuhnya.’
(9) Kembange pethil.
‘Bunganya lepas dari tangkai.’
(10) Pancine puthul kupinge.
‘Pancinya lepas pegangannya.’
(11) Panteke pacul pothol.
‘Pasaknya lepas.’
Dari data di atas, dapat ditampilkan klasifikasi dari satuan-satuan
lingual yang ikonis menjadi dua kelompok, yaitu (a) kelompok yang berunsur
konsonan [b,D,l] dan (b) kelompok berunsur konsonan [p,T,l].
Kelompok (a) yaitu kata-kata yang berbunyi bedhol
[b|DOl], bodhol [bODOl],
bedhel [...b|D|l], bedhal
[b|Dal...], bedhel [b|DEl],
budhal [buDal]; kelompok (b) yaitu kata-kata yang
berbunyi pethal [p|Tal], pothol [pOTOl],
puthul [puTUl], pethil
[p|TIl].
4. Tipe [b,D,l]
Tipe ini memiliki anggota sebagai berikut: bedhol ‘cabut’, bodhol ‘rontok’,
bedhal ‘lepas tak terkendali’, budhal ‘berangkat’, bedhel ‘bedah’, bedhel
‘mudah putus’. Dari pencermatan makna, rangkaian bunyi konsonan [b,D,l]
memiliki konsep makna ‘keterpisahan, keterlepasan, dan keterputusan’. Bunyi
vokal yang hadir pada rangkaian konsonan itu tidak terangkai semuanya. Hal itu
terbukti jika penempatan pada vokal pada rangkaian [b,D,l] diubah-ubah semuanya,
kehadiran bentuk-bentuk ubahan itu tidak berterima, seperti *bodhal [boDal],
*bodhel [boDEl], badhul
[baDUl], *budhol [buDOl],
bodhil [boDIl]. Di samping itu, ada bentuk bedhil [b|DIl]
‘senjata’ dan badhal [baDal] ‘utusan’ yang tidak
memiliki kemiripan konsep makna ‘keterpisahan’. Jika, dapat dikatakan bahwa
bunyi [b,D,l] yang bergabung dengan vokal tertentu
mengikonlingualkan ‘lepas, pisah, putus’. Rangkaian [b,D,l] yang mengikonlingualkan
‘lepas, pisah, putus’ itu dapat dibagankan seperti berikut.
(1) Suku pertama bervokal [|]
DOl : [b|DOl]
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar yea :