Rabu, 18 Mei 2011

Bahasa Ikonik


BAB I
PENDAHULUAN

Dalam bahasa Jawa terdapat beberapa kata yang memiliki kaitan antara makna dan bunyinya. Bunyi-bunyi, baik konsonan maupun vokal, yang terangkai menimbulkan nuansa makna tertentu. Rangkaian bunyi yang membentuk satuan-satuan lingual itu memiliki keterhubungan satu sama lain. Keterhubungan itu tidak bebas, tetapi terikat dengan unsur atau bunyi-bunyi yang membentuknya. Fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu cerminan budaya Jawa melalui bahasa. Sebagai contoh ditampilkan kata-kata berikut: bedhol [b|DOl] ‘cabut’, bedhel [b|Del] ‘bedah’serta pethil [p|Til] ‘lepas’, puthul [puTUl] ‘lepas’, pothol [pOTOl] ‘lepas’. Secara sepintas, kata-kata itu hampir mirip. Jika dicermati, masing-masing memiliki perbedaan walaupun ada keterkaitan konsep makna pokoknya. Perbedaannya bunyi vokal yang menyertai memberikan cerminan variasi makna. Keterkaitan makna dan bunyi yang dikatakan bahwa bunyi-bunyi tersebut memiliki sifat ikonis. Ternyata, dalam bahasa Jawa, rangkaian konsonan tertentu disertai rangkaian vokal tertentu dapat memberi variasi makna dengan makna pokok tertentu, atau bahkan berdekatan maknanya.
            Perbedaan bunyi vokal dalam rangkaian konsonan tertentu dapat melahirkan sejumlah konsekuensi terhadap makna. Konsekuensi itu dapat berupa penonjolan kualitas, kuantitas, dan korespondensi yang ikonis. Sehubungan dengan tersebut, dalam tulisan dibicarakan tentang keikonikan pada satuan lingual yang berunsur konsonan [b,D,l] dan [p,T,l] yang disertai dengan perbedaan vokalnya yang memiliki keterkaitan makna.
            Pembicaraan satuan lingual yang berunsur [b,D,l] dan [p,T,l] dengan perbedaan vokalnya dapat meluas sampai bentuk-bentuk [br,D,l], [br,nD,l], [D,D,l], [pr,T,l], dan [T,T,l]. Akan tetapi, pada tulisan ini bahasan dibatasi pada satuan lingual ini bahasan dibatasi pada satuan lingual yang berurusan [b,D,l] dan [p,T,l] yang memiliki kemiripan makna. Untuk bentuk yang lain tersebut akan disinggung sepanjang ada kemiripan makna.

BAB II
PEMBAHASAN

A  TEORI DAN METODE
1. Landasan Teori
Pembahasan ini berkaitan dengan keikonikan yang memasalahkan hubungan bentuk lingual dengan sesuatu yang diacunya. Seperti dijelaskan oleh Sudaryanto (1989: 114) bahwa ikonisitas (iconicity) itu digunakan untuk menyebutkan tanda yang bentuk fisiknya memiliki kaitan erat dengan sifat khas dari apa yang diacunya (bandingkan dengan Kridalaksana, 1982: 63). Lebih lanjut, dikatakan bahwa ikonisitas diartikan sebagai perlambangan, maksudnya perlambangan atas bentuk-bentuk ikon (Sudaryanto dan Bakdi Sumanto, 193: 63; periksa Verhaar 1985: 21). Hal semacam itu disebut sebagai fonestem (Subroto 1981: 12). Dalam hal ini, nilai makna dari bunyi berkaitan dengan besar kecilnya atau berat ringannya suatu benda, luas sempitnya suatu volume, ataupun jauh dekatnya sesuatu yang dilihat oleh si pembicara.
            Sehubungan dengan nilai makna sebagai konsekuensi wujud bunyi, pemahaman tentang fonetik dipakai sebagai alat untuk mencermati data. Fonetik yang erat dengan keikonikan adalah fonetik altikulatoris, yaitu fonetik yang berkaitan dengan bunyi-bunyi bahasa menurut cara yang dihasilkannya dengan alat-alat bicara (Verhaar 1996: 27; Crystal 1991: 169; Kridalaksana (1982: 44). Bunyi-bunyi bahasa itu dibedakan menjadi dua, yaitu bunyi yang “segmental” dan “suprasegmental”. Berkaitan dengan pembicaraan ikonisitas, bunyi segmental bunyi sebagai segmen itulah yang dicermati. Bunyi sebagai segmen adalah bunyi menurut pola urutannya di dalam kata dari yang pertama sampai dengan yang terakhir, atau “dari kiri ke kanan” (Verhaar 1996: 27).
            Satuan lingual yang ikonis memiliki makna konsep. Yang dimaksud dengan makna konsep yaitu makna denotasional, atau makna referensial, atau makna proporsional (Keraf 1984: 62). Makna konseptual itu merupakan esensi bahasa (Pateda, 1989: 63).
            Di dalam mencermati perbedaan makna satuan lingual ikonis yang satu dengan yang lain dibantu dengan analisis komponensial. Dikatakan oleh Nida (1975) bahwa analisis komponen dapat dilakukan terhadap leksem-leksem dalam suatu medan dengan menguraikannya sampai komponen makna sekecil-kecilnya. Dalam pembicaraan ini kata-kata (-alih-alih leksem-) ikonis yang berunsur konsonan [b,D,l] dan [p,T,l] beserta bentuk-bentuk variasinya dipandang berada dalam suatu medan. Adapun yang disebut komponen makna yaitu elemen-elemen makna yang merupakan ciri makna leksem yang bersangkutan (Muhajir 1984: 82, Crystal 1991: 69).

2. Metode
Untuk memperoleh data digunakan metode simak dengan teknik catat (Sudaryanto, 1993: 133-135). Penyimakan dilakukan pada tuturan, baik lisan maupun tulis, yang memuati saran-saran lingual ikonis seperti yang telah disebutkan.
            Di dalam analisis digunakan metode padan subreferensial dan metode agih (Sudaryanto 1933: 13-16). Metode padan referensial digunakan untuk mengamati referen dan pemaknaan bunyi-bunyi yang ikonis. Sarana bantu pemaknaan yaitu kamus Bausastra Jawa. Pemaknaan itu dituangkan dalam sebuah matriks, yang merupakan deskripsi pemilikan komponen makna. Di samping itu, dilakukan pengetesan konteks melalui penutur bahasa Jawa. Metode agih digunakan di dalam lingkungan tuturan atau bentuk bahasa yang bersangkutan, dengan teknik substitusi di dalam kaitannya dengan pengertian urutan bunyi.

3. PEMBAHASAN
Pembahasan ini berangkat dari data berikut.
(1)    Harna mbedhol telo.
‘Harna mencabut ketela.’
(2)    Transmigran sing nyang Irian kuwi transmigran bedhol desa.
‘Transmigran yang ke Irian itu transmigran pindah satu desa.’
(3)    Wulune sulak dha bodhol.
‘Bulu kemucingnya rontok.’
(4)    Benange bedhel banget.
‘Benangnya sangat mudah putus.’
(5)    Jarane bedhal.
‘Kudanya lepas tak terkendali.’
(6)    Wetenge bedhel.
‘Perutnya bedah.’
(7)    Lutfi wis budhal sekolah.
‘Lutfi sudah berangkat sekolah.’
(8)    Sirahe pethal karo awak.
‘Kepalanya terlepas dari tubuhnya.’
(9)    Kembange pethil.
‘Bunganya lepas dari tangkai.’
(10)  Pancine puthul kupinge.
‘Pancinya lepas pegangannya.’
(11)  Panteke pacul pothol.
‘Pasaknya lepas.’

Dari data di atas, dapat ditampilkan klasifikasi dari satuan-satuan lingual yang ikonis menjadi dua kelompok, yaitu (a) kelompok yang berunsur konsonan [b,D,l] dan (b) kelompok berunsur konsonan [p,T,l]. Kelompok (a) yaitu kata-kata yang berbunyi bedhol [b|DOl], bodhol [bODOl], bedhel [...b|D|l], bedhal [b|Dal...], bedhel [b|DEl], budhal [buDal]; kelompok (b) yaitu kata-kata yang berbunyi pethal [p|Tal], pothol [pOTOl], puthul [puTUl], pethil [p|TIl].

4. Tipe [b,D,l]
Tipe ini memiliki anggota sebagai berikut: bedhol ‘cabut’, bodhol ‘rontok’, bedhal ‘lepas tak terkendali’, budhal ‘berangkat’, bedhel ‘bedah’, bedhel ‘mudah putus’. Dari pencermatan makna, rangkaian bunyi konsonan [b,D,l] memiliki konsep makna ‘keterpisahan, keterlepasan, dan keterputusan’. Bunyi vokal yang hadir pada rangkaian konsonan itu tidak terangkai semuanya. Hal itu terbukti jika penempatan pada vokal pada rangkaian [b,D,l] diubah-ubah semuanya, kehadiran bentuk-bentuk ubahan itu tidak berterima, seperti *bodhal [boDal], *bodhel [boDEl], badhul [baDUl], *budhol [buDOl], bodhil [boDIl]. Di samping itu, ada bentuk bedhil [b|DIl] ‘senjata’ dan badhal [baDal] ‘utusan’ yang tidak memiliki kemiripan konsep makna ‘keterpisahan’. Jika, dapat dikatakan bahwa bunyi [b,D,l] yang bergabung dengan vokal tertentu mengikonlingualkan ‘lepas, pisah, putus’. Rangkaian [b,D,l] yang mengikonlingualkan ‘lepas, pisah, putus’ itu dapat dibagankan seperti berikut.

(1)  Suku pertama bervokal [|]
            DOl         : [b|DOl]

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar yea :

SMS Gratis

Cara Buat Widget Ini