POLA
UMUM CURAH HUJAN
Sejak ditemukan pertama
kali oleh Saji et al pada tahun 1999, kajian dampak IODM (Indian Ocean Dipole
Mode) terhadap iklim global dan regional telah banyak dilakukan. Diantaranya
adalah yang spesifik terhadap variasi iklim terutama curah hujan, di Indonesia.
Dampak IODM pada dasarnya hampir mirip dengan fenomena El Nino dan La Nina dari
ENSO. Pada saat anomali suhu permukaan laut Samudera Hindia tropis bagian barat
lebih besar daripada di bagian timurnya, maka akan terjadi peningkatan curah
hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat,
sedangkan di Benua Maritim Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari
normalnya yang menyebabkan kekeringan. Kondisi ini juga berlaku sebaliknya,
sehingga menyebabkan curah hujan di Indonesia lebih tinggi dari normalnya.
Variabilitas curah
hujan Indonesia terkait erat dengan kejadian IODM, ENSO dan sistem monsun
Indonesia. Fenomena IOD, ENSO dan monsun dalam mempengaruhi curah hujan di
Indonesia tidak terjadi secara bersamaan. Pada suatu saat salah satu fenomena
menjadi dominan dibandingkan fenomena yang lain. Namun pada waktu lain, ketiga
fenomena tersebut terjadi dengan pengaruh yang sama kuat. Indonesia bagian
barat akan dipengaruhi besar oleh fenomena IODM, sedangkan bagian timur akan
dipengaruhi oleh ENSO. Dalam studi global yang dilakukan Yamagata et al (2003)
telah disimpulkan secara garis besar bahwa pengaruh IODM di wilayah indonesia
menurun ke arah timur, sementara pengaruh ENSO menurun ke arah barat.
Selain berpengaruh
terhadap variabilitas curah hujan secara independen, IODM juga disinyalir
berkaitan (saling mempengaruhi) dengan fenomena ENSO. Behera dan Yamagata
(2002) menemukan adanya korelasi antara indeks IODM dengan tekanan udara di
Darwin, yang secara tidak langsung mempengaruhi kuat lemahnya ENSO. Studi
literatur ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh fenomena IODM terhadap ENSO
serta kaitannya dengan variasi curah hujan di Indonesia.
Pola umum curah hujan
di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh letak geografis. Secara rinci pola
umum hujan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:
Pantai sebelah barat
setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak daripada pantai
sebelah timur.
Curah hujan di
Indonesia bagian barat lebih besar daripada Indonesia bagian timur. Sebagai
contoh, deretan pulau-pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang dihubungkan oleh
selat-selat sempit, jumlah curah hujan yang terbanyak adalah Jawa Barat.
Curah hujan juga
bertambah sesuai dengan ketinggian tempat. Curah hujan terbanyak umumnya berada
pada ketinggian antara 600 – 900 m di atas permukaan laut.
Di daerah pedalaman, di
semua pulau musim hujan jatuh pada musim pancaroba. Demikian juga halnya di
daerah-daerah rawa yang besar.
Bulan maksimum hujan
sesuai dengan letak DKAT.
Saat mulai turunnya
hujan bergeser dari barat ke timur seperti:
1) Pantai barat pulau
Sumatera sampai ke Bengkulu mendapat hujan terbanyak pada bulan November.
2) Lampung-Bangka yang
letaknya ke timur mendapat hujan terbanyak pada bulan Desember.
3) Jawa bagian utara,
Bali, NTB, dan NTT pada bulan Januari – Februari.
Di Sulawesi Selatan
bagian timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah, musim hujannya berbeda, yaitu
bulan Mei-Juni. Pada saat itu, daerah lain sedang mengalami musim kering. Batas
daerah hujan Indonesia barat dan timur terletak pada kira-kira 120( Bujur
Timur.
Rata-rata curah hujan
di Indonesia untuk setiap tahunnya tidak sama. Namun masih tergolong cukup
banyak, yaitu rata-rata 2000 – 3000 mm/tahun. Begitu pula antara tempat yang
satu dengan tempat yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama.
Ada beberapa daerah
yang mendapat curah hujan sangat rendah dan ada pula daerah yang mendapat curah
hujan tinggi:
Daerah yang mendapat
curah hujan rata-rata per tahun kurang dari 1000 mm, meliputi 0,6% dari luas
wilayah Indonesia, di antaranya Nusa Tenggara, dan 2 daerah di Sulawesi (lembah
Palu dan Luwuk).
Daerah yang mendapat
curah hujan antara 1000 – 2000 mm per tahun di antaranya sebagian Nusa
Tenggara, daerah sempit di Merauke, Kepulauan Aru, dan Tanibar.
Daerah yang mendapat
curah hujan antara 2000 – 3000 mm per tahun, meliputi Sumatera Timur,
Kalimantan Selatan, dan Timur sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Tengah,
sebagian Irian Jaya, Kepulauan Maluku dan sebagaian besar Sulawesi.
Daerah yang mendapat
curah hujan tertinggi lebih dari 3000 mm per tahun meliputi dataran tinggi di
Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dataran tinggi Irian bagian tengah, dan
beberapa daerah di Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba.
Perlu Anda ketahui pula
bahwa hujan terbanyak di Indonesia terdapat di Baturaden Jawa Tengah, yaitu
curah hujan mencapai 7,069 mm/tahun. Hujan paling sedikit di Palu Sulawesi
Tengah, merupakan daerah yang paling kering dengan curah hujan sekitar 547
mm/tahun.
Dulu sebelum era 90-an,
dengan mudah kita akan menyebut bahwa musim hujan di Indonesia berlangsung
anatara bulan Oktober hingga April. Sekarang? Jangankan April. sepanjang tahun
2010 hujan terus rajin mengguyur Pulau Jawa.
Inilah sedikit catatan
keunikan hujan.
Hujan merupakan satu bentuk presipitasi
(produk dari kondensasi uap air di atmosfer) yang berwujud cairan. Hujan dalam
bentuk lain adalah Hujan Es atau salju atau presipitasi yang berwujud padat.
Bentuk lain dari hujan adalah kabut, Kabut atau halimun yaitu uap air atau
aerosol yang berada dekat permukaan tanah berkondensasi dan menjadi mirip awan.
Hal ini biasanya terbentuk karena hawa dingin membuat uap air berkondensasi dan
kadar kelembaban mendekati 100%.
Hujan terbentuk apabila titik air yang
terpisah jatuh ke bumi dari awan. Tidak semua air hujan sampai ke permukaan
bumi karena sebagian menguap ketika jatuh melalui udara kering. Hujan jenis ini
disebut sebagai virga.
kabut
Musim hujan hanya dikenal di wilayah dengan
iklim tropis. Di daerah tropis musim hujan bergantian dengan musim kemarau dan
sangat dipengaruhi oleh pergerakan semu matahari tahunan. Pergerakan matahari
mengubah peta suhu udara dan permukaan tanah dan samudera. Pada gilirannya
perbedaan suhu akan mengubah konsentrasi uap air di udara.
Secara teknis meteorologi, musim hujan
dianggap terjadi apabila curah hujan dalam tiga puluh harian (dasarian) berturut-turut telah melebihi 100 mm per
meter persegi per 10 harian dan berlanjut terus. Apabila hal ini belum
terpenuhi namun curah hujan telah tinggi kondisinya dianggap sebagai peralihan
musim (pancaroba). Dalam pranata mangsa yang dikenal di Pulau Jawa, pancaroba
antara musim penghujan dan musim kemarau (biasa terjadi pada bulan Maret dan
April) disebut sebagai mangsa (musim) marèng, sementara pancaroba antara musim
kemarau dan musim penghujan (biasa terjadi pada bulan Oktober hingga Desember)
disebut mangsa labuh. Sebagai misal, musim hujan dinyatakan dimulai (menurut
batasan BMG) apabila untuk suatu tempat curah hujan telah di atas 100mm selama
tiga dasarian berturut-turut.
Biasanya musim hujan terjadi pada bagian
bumi yang tengah mengalami posisi zenith peredaran semu matahari.
Hujan memainkan peranan penting dalam siklus
hidrologi. Lembaban dari laut menguap, berubah menjadi awan, terkumpul menjadi
awan mendung, lalu turun kembali ke bumi, dan akhirnya kembali ke laut melalui
sungai dan anak sungai untuk mengulangi daur ulang itu semula.
Hujan memiliki kadar asam sekitar pH 6. Air
hujan dengan pH di bawah 5,6 dianggap hujan asam. Hujan secara alami bersifat
asam (pH sedikit di bawah 6) karena karbondioksida (CO2) di udara yang larut
dengan air hujan memiliki bentuk sebagai asam lemah. Jenis asam dalam hujan ini
sangat bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang
dibutuhkan oleh tumbuhan dan binatang. Hujan asam disebabkan oleh belerang
(sulfur) serta nitrogen yang merupakan pengotor dalam bahan bakar fosil di
udara yang bereaksi dengan oksigen membentuk sulfur dioksida dan nitrogen
oksida. Zat-zat ini berdifusi ke atmosfer dan bereaksi dengan air untuk
membentuk asam sulfat dan asam nitrat yang mudah larut sehingga jatuh bersama
air hujan. Air hujan yang asam tersebut akan meningkatkan kadar keasaman tanah
dan air permukaan yang terbukti berbahaya bagi kehidupan ikan dan tanaman.
Secara alami hujan asam dapat terjadi akibat semburan dari gunung berapi dan dari proses biologis seperti pembusukan
di tanah, rawa, dan laut. Akan tetapi, mayoritas hujan asam disebabkan oleh
aktivitas manusia seperti industri, pembangkit tenaga listrik, kendaraan
bermotor dan pabrik pengolahan pertanian (terutama amonia).
Rata-rata kecepatan jatuhnya air hujan
hanyalah 8-10 km/jam. Air jatuh ke bumi dengan kecepatan yang rendah karena
titik hujan memiliki bentuk khusus yang meningkatkan efek gesekan atmosfer dan
membantu hujan turun ke bumi dengan kecepat-an yang lebih rendah. Andaikan
bentuk titik hujan berbeda, atau andaikan atmosfer tidak memiliki sifat
gesekan. Jika hujan terjadi seperti gelembung air yang besar yang turun dari
langit, maka bumi akan menghadapi kehancuran setiap turun hujan.
Ketinggian minimum awan hujan adalah 1.200
meter dan maksimum pada altituda 10.000 meter. Efek yang ditimbulkan oleh satu
tetes air hujan yang jatuh dari ketinggian tersebut sama dengan benda seberat 1
kg yang jatuh dari ketinggian 15 cm.
Dalam satu detik, kira-kira 16 juta ton air
menguap dari bumi. Jumlah ini sama dengan jumlah air yang turun ke bumi dalam
satu detik. Dalam satu tahun, diperkirakan jumlah ini akan mencapai 505x1012
ton.
Butiran air hujan berubah bentuk ratusan
kali tiap detik. Kalau butiran air hujan itu dibekukan akan membentuk keping
kristal yg indah, tidak seperti air biasa yang di bekukan di freezer/kulkas.
Setelah hujan turun, tanah, ilalang,
rerumputan akan mengeluarkan bau wangi yg khas, senyawa ini dinamakan
'petrichor'. (petros Yunani "batu" + nanah cairan yang mengalir di
pembuluh darah para dewa dalam mitologi Yunani) adalah nama aroma hujan ke bumi
kering. Istilah ini diciptakan pada tahun 1964 oleh dua peneliti Australia,
Bear dan Thomas. Bau berasal dari minyak atsiri tanaman tertentu selama periode
kering, lalu itu diserap oleh tanah liat dan batu berbasis. Selama hujan,
minyak dilepaskan ke udara bersama dengan yang lain senyawa geosmin yang
menghasilkan aroma khas. Bear dan Thomas (1965) menunjukkan bahwa minyak
menghambat perkecambahan biji dan awal pertumbuhan tanaman.
Titik Hujan
Jumlah orang yang sakit flu lebih banyak
saat musim hujan karena virus flu atau influenza aktif saat intensitas sinar
matahari sedikit dan udara menjadi dingin. Udara yang dingin dan lembab juga
menurunka daya tahan tubuh.
Cendawan dan Jamur (Fungi) tumbuh dan
berkembang pesat saat musim hujan karena, fungi atau fungus hidup pada tempat
yang lembab.
Pelangi hanya dapat dilihat saat hujan
ringan bersamaan dengan matahari bersinar, tapi dari sisi yang berlawanan
dengan si pengamat. Posisi si pengamat harus berada di antara matahari dan
tetesan air dengan matahari dibekalang orang tersebut. Matahari, mata si
pengamat dan pusat busur pelangi harus berada dalam satu garis lurus.
Pelangi
kain atau pakaian yang dicuci dan dijemur
saat musim hujan lebih sulit untuk
kering karena sedikit sinar matahari yang memanaskan baju basah. Selain itu
udara yang tidak lembab atau kering memiliki sedikit partikel air. Udara yang
kering akan lebih cepat menghisap kain basah.
Pada beberapa kebudayaan hujan sering
diasumsikan sebagai susana yan negatif, duka, kelam dan dingin. Namun ada fakta
yang misterius dan mengejutkan adalah Hujan sering membawa memori manusia
kepada ingatan masa lalu. Bukti ilmiah, para ilmuan hanya bisa menyimpulkan “Di
dalam hujan, ada gelombang tertentu yang beresonansi yang hanya bisa didengar
oleh mereka yang rindu”. Dan pada titik ini, para ilmuan meyakini bahwa manusia
biasanya mendapatkan inspirasi.
Pola Hujan Rata-Rata
Bulanan Wilayah Indonesia
Kemarin saat sedang
mencari-cari literatur untuk tulisan, saya temuin satu paper yang menurut saya
sangat bagus. Paper itu di tulis oleh pak Dr. Edvin Aldrian dan diterbitkan
pada tahun 200 oleh Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 1, No.
2 dan berjudul POLA HUJAN RATA-RATA BULANAN WILAYAH INDONESIA; TINJAUAN HASIL
KONTUR DATA PENAKAR DENGAN RESOLUSI ECHAM T-42. Paper ini menceritakan tentang
hujan di Indonesia dan faktor-faktor umum penyebab hujan itu turun di Indonesia
dari bulan januari sampai desember. Paper ini menceritakan cukup detail
faktor-faktor tersebut misalnya tentang kenapa musim kemarau mulai ada di bulan
mei dan musim hujan mulai masuk pada bulan september. trus kenapa curah hujan
sangat rendah sekali di NTT pada bulan agustus serta pergerakan musim hujan
atau kemarau dari ujung barat indonesia sampai ujung timur indonesia, ujung
selatan indonesia sampai ujung utara indonesia. Sangat menarik dan bisa di
jadikan sebagai acuan bagi yang mempelajari hujan baik itu untuk tugas,
skripsi, tesis, bahkan desertasi. Karena informasi ini sangat jarang di
peroleh. Paper aslinya saya akan tautkan di bagian bawah tulisan ini sedangkan
gambar sebaran spasial hasil modelnya yang berupa sebaran spasial rata-rata
curah hujan di Indonesia saya ganti dengan yang berwarna (gambar di samping,
klik untuk memperbesar) yang saya peroleh dari desertasinya pak Aldrian, karena
klo dari papernya tersebut gambarnya hitam putih.
1. Januari
Hampir seluruh wilayah
Indonesia memiliki curah hujan rata rata bulanan diatas 150 mm. Daerah yang
memiliki curah hujan maksimum terdiri dari Lampung dan Jawa dengan curah hujan
diatas 300 mm. Keberadaan monsun Asia dan Australia tidak terlihat jelas pada
bulan ini. Dalam pengertian iklim klasik Indonesia, bulan ini semestinya
termasuk dalam periode monsun asia. Kenyataannya, berda-sarkan analisis angin
ECMWF 850 mb. Monsun Asia ada pada bulan NDJFM. Daerah yang paling berdekatan
dengan asal monsun Asia (Riau kepulauan) justru memiliki curah hujan yang lebih
rendah. Kalau dilihat dari analisis angin, daerah ini memang mensuplai massa
udara basah tetapi kecepatan angin terlalu tinggi sehingga mengurangi
kemungkinan hujan di daerah ini.
Daerah anomali hujan
tinggi, selain di Riau kepulauan juga terjadi di utara Sulawesi dan Maluku
te-ngah. Anomali lainnya juga terlihat jelas pada kon-tur hujan di Sulawesi
selatan atau tepatnya di sebe-lah barat kota Makasar. Tingginya curah hujan
kota Makasar pada bulan ini harus dipahami dengan situasi kota ini yang
terletak dipinggir pantai sebuah semenanjung Sulawesi selatan yang di tengahnya
terdapat ba-risan bukit. Pada baratan pada bulan membawa udara basah yang
memberikan efek orografis ba-yangan hujan (Fohn effect). Sebagai hasilnya curah
hujan di kota ini jauh lebih tinggi dari nilai kontur yang tergambar. Terkadang
terdapat data dengan curah hujan diatas 1500 mm. Faktor kesalahan lain-nya
adalah kurangnya titik observasi di grid ini. Pada grid ini terdapat satu
stasiun penakar di kota Makasar. Apabila ingin didapat pola iklim berdasar
hujan yang lebih mewakili maka grid ini membutuhkan jauh lebih banyak data
penakar terutama dari timur semenanjung Sulawesi selatan.
Hasil analisis angin
menunjukkan bahwa terjadi konvergensi masa udara di daerah yang memiliki curah
hujan maksimum yaitu selatan Indonesia mulai dari Lampung hingga pulau Timor.
Di daerah sebelah utara Australia terjadi daerah pusaran angin yang menunjukkan
daerah yang sering terjadi siklon tropis. Apabila kita melihat bahwa monsun
asia sudah melemah, maka dapat disimpulkan sementara bahwa curah hujan tinggi
di selatan Indonesia terjadi bukan karena monsun Asia tetapi karena daerah
pertemuan masa udara dari belahan bumi utara dan selatan (daerah ITCZ) dan
keberadaan siklon tropis di sebelah utara Australia. Secara khusus dapat dibagi
lagi bahwa di daerah Lampung hingga Jawa pengaruh ITCZ lebih besar ketimbang
siklon tropis, tetapi daerah Nusa Tenggara mendapat pengaruh siklon tropis yang
besar pula. Hal ini jelas terlihat pada grid di daerah selatan laut Banda, yang
paling berdekatan dengan lokasi siklon di utara Australia, memiliki curah hujan
mencapai > 350 mm.
Dari pola OLR, daerah
yang berpeluang terjadinya hujan adalah daerah pesisir barat Sumatera dan Jawa.
Selain itu Maluku utara hingga Sulawesi utara serta tengah pulau Irian. Daerah
di tengah Irian dengan nilai OLR tinggi dapat dimaklumi secara orografis yaitu
daerah puncak Jayawijaya. Pola OLR tinggi di Maluku tengah dan Sulawesi Utara
bertentangan dengan data hujan yang menunjukkan daerah ini memiliki curah hujan
minimum. Secara umum daerah OLR juga mewakili letak posisi ITCZ yang tepat di
daerah khatulistiwa. Dari pola OLR ini juga terlihat bahwa daerah yang dekat
dengan asal monsun Asia tidak memiliki po¬tensi awan konvektif sebagaimana
analisis kita se¬belumnya.
Analisis suhu permukaan
dari ECMWF menunjukkan bahwa kemungkinan aliran angin sesuai dengan pola angin
ketinggian 850 mb. Arah angin berasal dari laut Cina selatan menuju daerah
benua australia. Kalau dilihat sepintas, keberadaan ITCZ sulit diramalkan dari
pola suhu permukaan yang ada ini. Daerah disebelah utara Australia memiliki
suhu permukaan yang tinggi hingga ada yang mencapai 3030K yang menunjukkan
besarnya potensi terjadinya siklon di daerah ini.
2. Februari
Pola hujan secara umum
pada bulan ini tidak jauh berbeda dengan Januari dengan penurunan intensi-tas
hujan terjadi di semua wilayah. Penurunan juga terjadi di Maluku dan utara
Sulawesi, sementara efek orografis di kota Makasar masih terlihat.
Dari analisis angin 850
mb ECMWF dapat terlihat bahwa pola angin masih sangat serupa dengan pola angin
bulan Januari. Hasil ini dapat dimengerti apabila kita memperhatikan pola suhu
permukaan keluaran ECMWF yang mana untuk seluruh wilayah Indonesia, polanya
sangat serupa dengan pola bulan Januari kecuali di daerah Maluku selatan.
Peru-bahan ini juga terlihat dari pola pusaran angin di utara benua Australia
yang berpindah lebih ke arah Indonesia. Sementara pola pusaran disebelah barat
pulau Sumatera tetap bertahan pada bulan ini. Dengan melihat hasil keluaran
angin 850 mb, dapat juga dimengerti penurunan intensitas curah hujan di sebelah
selatan Indonesia karena terjadinya kena-ikan kecepatan angin di daerah ini,
sehingga awan konvektif sulit terbentuk. Jadi meskipun ITCZ masih ada dan
berpengaruh, aktivitas konvektif lebih berkurang dibandingkan bulan Januari.
Dari pola OLR, terlihat
penyebaran daerah konvek-tif terutama di daerah barat Sumatera berkurang jauh.
Yang masih bertahan serupa dengan pola sebelumnya adalah daerah Irian Jaya.
Pengurang-an daerah konvektif di selatan Indonesia ini dapat dimengerti dari
analisis angin 850 mb yang mulai memperlihatkan adanya kenaikan kecepatan
angin.
3. Maret
Pola curah hujan rata
rata bulan Maret masih menunjukkan pola serupa seperti bulan Februari dan
Januari. Dengan intensitas dan pola penyebar-an yang serupa dengan pola bulan
Februari, penjelasan penyebaran pola tidak jauh beda dengan bulan Februari.
Penurunan pengaruh Fohn effect di Makasar lebih diakibatkan terlalu lemahnya
angin di daerah tersebut (< 2 m/s). Pada bulan ini, meskipun pola angin
masih seragam dengan pola NDJFM yang menunjukkan pola monsun Asia, tetapi
justru pengaruh monsun paling kecil pada bulan ini.
Dari analisis angin
ECMWF, terlihat bahwa daerah pusaran angin di daerah sebelah utara Australia
lebih mendekat ke arah Indonesia. Secara umum kecepatan angin sangat lemah
(< 2 m/s) sehingga pola hujan yang mungkin terjadi bukanlah pola musiman
tetapi lebih disebabkan oleh faktor gangguan lokal. Pola angin yang sangat
mirip dengan bulan Februari tetapi dengan kecepatan yang jauh lebih rendah ini
dapat dimengerti dari analisis pola suhu permukaan yang masih seragam dengan
pola di bulan Februari. Di sebelah selatan Indonesia pe-nyebaran daerah bersuhu
tinggi menyebabkan daerah ini mengalami penurunan kecepatan angin karena
penyebaran daerah ini meluas hingga sebelah barat Sumatera utara.
Pola OLR menunjukkan
bahwa daerah konvektif masih terdapat di sebelah barat Sumatera yang mana
terjadinya lebih disebabkan oleh karena terdapatnya daerah perputaran arah
angin disini. Daerah potensial konvektif juga terjadi di daerah Maluku tengah.
Interpretasi yang logis dari hasil di daerah Maluku ini masih belum jelas.
4. April
Bulan ini ditandai
dengan menurunnya curah hujan rata rata di Indonesia bagian selatan. Terlebih
di daerah Nusa Tenggara dimana mulai terlihat kedatangan musim kemarau atau
monsun Australia yang kering. Sebagian besar daerah Jawa berpeluang hujan
antara 150 – 200 mm/bulan. Hampir seluruh Indonesia memiliki peluang yang
serupa seperti ini. Sementara sebagian daerah Sumatera, seluruh Kalimantan dan
Irian Jaya, masih memiliki hujan relatif tinggi. Daerah hujan rendah di daerah
kedatangan monsun Asia semakin mengecil. Dari analisis angin 850 mb, dapat
disimpulkan bahwa bulan April merupakan bulan transisi dari musim basah menuju
musim kering. Pola angin yang jauh dari seragam hampir terjadi disemua daerah
terutama Indonesia bagian barat. Ke¬beradaan ITCZ yang terletak tepat di
khatulistiwa jelas terlihat di pola angin diatas Maluku dan Irian Jaya. Pada
bulan ini angin tidak lagi berasal dari daerah monsun Asia, malahan angin kuat
mulai mengalir dari benua Australia. Keberadaan daerah siklon tropis di utara
benua Australia juga menghi¬lang. Arah angin yang mulai mengarah dari
Austra¬lia ini dapat dilihat dari pengaruhnya pada pola hu¬jan di daerah nusa
tenggara yang intensitasnya sangat menurun (< 100 mm). Arah angin pada
periode transisi ini yang tidak homogen dapat dimengerti dari pola suhu
permukaan yang meng¬gambarkan pola suhu tinggi hampir diseluruh wi¬layah
Indonesia, dengan ini dapat dimengerti bahwa pada bulan ini pola hujan
terjadinya lebih dikarenakan faktor gangguan lokal. Karena suplai udara basah
sudah jauh berkurang. Pola suhu per¬mukaan, dalam bulan JFM menunjukkan daerah
bersuhu tinggi di selatan Indonesia atau utara Aus¬tralia yang menjadi faktor
pendorong aliran udara dari Asia ke daerah tersebut. Dengan meratanya
penyebaran suhu tinggi permukaan maka tidak mungkin tampil daerah yang arah
anginnya homo¬gen seperti perioda tersebut.
Dari pola OLR terlihat
bahwa penyebaran daerah konvektif masih terjadi disebelah barat Sumatera,
Maluku tengah dan Irian Jaya. Hal ini tidak jauh beda dengan kondisi tiga bulan
sebelumnya. Kedatangan monsun Australia yang sudah mulai jelas, juga terlihat
daerah bernilai OLR rendah di Nusa Tenggara. Walau kedatangan monsun Australia
sudah mulai terdeteksi secara umum Indonesia pada bulan ini ada dalam perioda
transisi.
5. Mei
Pola hujan bulan ini
menunjukkan daerah intensitas cukup merata (150 – 200 mm) hampir diseluruh
Indonesia. Kecuali di sebelah barat Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Daerah
kering meluas hingga Jawa Tengah dan Sulawesi selatan. Dapat dikatakan bahwa
pada bulan ini Indonesia bagian selatan sudah memasuki musim kemarau.
Dari pola angin 850 mb,
kondisi transisi masih bertahan terutama di Kalimantan. Dominasi angin dari
Australia semakin menyeruak masuk dan ITCZ mulai tidak jelas keberadaannya.
Selain dominasi angin dari Australia yang kering ternyata selatan Indonesia
juga dipengaruhi oleh kondisi angin kencang yang menghambat terjadinya hujan.
Kondisi transisi tidak jelas terutama terlihat dari suhu permukaan, maksimumnya
bergeser ke belahan utara pada bulan ini. Sebagian besar daerah Indonesia
mengalami angin kecepatan “sedang” hingga “rendah” yang memung-kinkan timbulnya
hujan akibat gangguan lokal. Dari pola OLR terlihat bahwa daerah konvektif juga
berkurang dan daerah kering semakin meluas di Indonesia bagian selatan. Daerah
konvektif di barat Sumatera dan Maluku meluas ke utara.
6. Juni
Pola hujan pada bulan
ini ditandai dengan makin meluasnya musim kemarau hingga Sumatera utara.
Se-luruh Jawa telah masuk musim kemarau dengan beberapa daerah memiliki curah
hujan dibawah 100 mm. Daerah hujan tinggi masih terdapat di sebelah barat
Sumatera dan Kalimantan utara. Sedangkan di Maluku tengah terdapat daerah
dengan curah hujan tinggi. Daerah lainnya, curah hujan merata dengan intensitas
150 – 200 mm. Daerah musim kemarau memiliki intensitas hujan hingga 0 mm.
Pola angin pada bulan
ini lebih kurang homogen. Angin berkecepatan tinggi datang dari benua Australia
menuju Asia dan sangat berpengaruh pada kondisi musim kemarau terutama pada
daerah Nusa Tenggara dan Maluku selatan. Dilihat dari pola suhu permukaan,
pemisahan daerah 3010K mulai tampak antara belahan bumi selatan dan utara. Hal
inilah yang membantu memperkuat angin dominan di Indonesia yang berasal dari
Australia. Suhu permukaan ditengah benua Australia telah turun jauh hingga
mengakibatkan angin berkecepatan tinggi.
Pola OLR bulan ini
menunjukkan daerah konvektif hanya terdapat di barat Sumatera dan umumnya di
sebelah utara Indonesia. Pola musim kemarau di selatan Indonesia tidak berubah
hingga daerah Kalimantan selatan sebagaimana pola hujan bulan ini.
7. Juli
Pola hujan bulan Juli
mennjukkan peningkatan daerah musim kemarau dalam hal daerah yang intensitas
curah hujan < 100 mm. Secara umum pola yang digambarkan serupa dengan bulan
Juni. Daerah musim kemarau meluas hingga Sulawesi utara. Pola angin pada bulan
ini juga tidak menunjukkan perbedaan nyata dengan bulan sebelumnya. Hal ini
dapat dimengerti karena dari pola suhu permukaan juga tidak terlihat pola yang
berubah jelas jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Semen-tara dari pola
OLR kita melihat bahwa daerah musim kemarau semakin mendesak keatas dan meluas.
Seluruh Jawa telah menjadi daerah non-konvektif.
8. Agustus
Pada bulan Agustus ini
seluruh pulau Sulawesi memasuki musim kemarau. Hanya daerah sebelah barat
Sumatera curah hujan tinggi masih bertahan. Dapat dikatakan bahwa puncak musim
kemarau terjadi pada bulan ini. Kemarau terjadi hampir diseluruh wilayah
Indonesia kecuali Su¬matera bagian barat, sebagian Kalimantan, Maluku tengah
dan Irian Jaya. Pergerakan monsun Australia atau musim kemarau berjalan teratur
dan mencapai maksimum pada bulan ini. Di daerah nusa teng-gara, intensitas
hujan mencapai 0 mm. Dari pola angin, tidak tampak perubahan diban¬dingkan
dengan bulan sebelumnya. Dapat dikata¬kan selama lima bulan MJJAS, pola angin
berlang¬sung secara homogen. Bertahannya curah hujan tinggi di sebelah barat
Sumatera, sebagian Kali¬mantan dan Irian Jaya adalah karena perputaran angin di
daerah ini. Dari pola suhu permukaan sebenarnya belahan bumi utara pada bulan
ini tidak terlalu hangat (>3020K), tetapi suhu di belahan bumi selatan
terlalu rendah (<2980K) sehingga angin yang mengalir di Indonesia tetap
kencang.
Serupa dengan pola hujan
rata rata bulanan, dari pola OLR dapat dilihat bahwa pada bulan ini daerah
musim kemarau mencapai daerah terluas atau bulan ini adalah puncak dari musim
kemarau. Daerah konvektif hanya terlihat di sebelah barat Sumatera dan daerah
daerah di utara Indonesia.
9. September
Bulan september
merupakan awal dari peluruhan monsun Australia yang digambarkan dengan
pe-ngurangan daerah musim kemarau. Daerah musim kemarau disebelah utara
Sumatera menghilang. Musim kemarau masih ada di Sumsel, Jawa hingga Timor,
Sulawesi dan Maluku. Daerah Maluku utara dan Irian tetap bertahan dengan curah
hujan sedang. Daerah hujan minimum di sebelah selatan Indonesia juga mulai
menampakkan peningkatan intensitasnya. Daerah minim hujan di Sumatera juga
sudah mulai menampakkan peningkatan intensitas.
Pola angin bulan ini
menunjukkan pola yang serupa dengan pola angin MJJAS. Berta¬hannya secara
homogen pola angin ini selama lima bulan me-nunjukkan kuatnya pengaruh monsun
Australia di Indonesia. Dari pola suhu permukaan, terlihat bah-wa di selatan
Indonesia suhu permukaan mulai meningkat. Terutama hilangnya kontur suhu <
2980K di utara Australia yang dapat diartikan mulai berkurangnya suplai udara
kering dari benua ini.
Pola OLR menunjukkan
adanya peningkatan daerah konvektif di sebelah barat Sumatera. Daerah ini
menunjukkan nilai OLR yang tinggi yang menandakan tingginya aktivitas konveksi
disini. Dari pola bulan ini juga mulai terlihat pindahnya aktivitas konvektif
ke wilayah Indonesia dari utara. Secara umum, Indonesia masih mengalami pola
monsun Australia. Hal ini jelas terlihat dari pola angin yang masih serupa
dengan pola MJJAS.
10. Oktober
Dari pola hujan
bulanan, terjadi pergerakan daerah musim kemarau yang beralih ke Indonesia
timur. Batas musim kemarau mulai dari Jawa timur hingga menutupi seluruh
Indonesia timur kecuali Irian Jaya. Hal yang menarik lainnya adalah datangnya
pengaruh monsun Asia yang nampak dengan timbulnya daerah hujan di utara
Kalimantan yang dekat dengan Asia. Daerah lainnya yang memiliki curah hujan
tinggi adalah sebelah barat Sumatera dengan penyebab klasiknya yaitu pusaran
angin di barat Sumatera. Pola angin 850 mb pada bulan ini tetap menggam¬barkan
pola monsun Australia. Kalau dibandingkan dengan pola hujan hasil pengamatan,
tidak dapat dikatakan bahwa hanya monsun Australia yang berpengaruh pada bulan
ini. Dari data angin mulai terlihat pindahnya daerah ITCZ di utara Indonesia.
Dari pola suhu permukaan, terlihat peningkatan suhu permukaan di Australia
utara. Secara umum, seperti bulan April, suhu permukaan hampir di selu¬ruh
wilayah Indonesia seragam. Sehingga memper¬kuat hipothesis bahwa bulan ini
dikategorikan seba¬gai masa transisi. Sesuai dengan gambar pola hujan bulan
Oktober, dari pola OLR terlihat juga bahwa musim kemarau masih terbentang di
Indonesia bagian selatan meskipun wilayahnya jauh lebih kecil daripada
se¬belumnya.
11. Nopember
Pola hujan bulan ini
menunjukkan pudarnya peng-aruh monsun Australia dan masuknya monsun Asia dengan
udara basah sehingga di wilayah utara tampak peningkatan curah hujan bulanan.
Daerah seperti Kalimantan menerima curah hujan hingga lebih dari 350 mm. Daerah
musim kemarau seperti Sulawesi dan Jawa juga mulai menerima pening¬katan curah
hujan. Daerah penurunan intensitas hujan malah terjadi di Irian Jaya bagian
selatan. Meskipun masih terdapat musim kemarau, daerah nusa tenggara menerima
curah hujan sedang antara 50 – 150 mm. Sehingga dapat dikatakan, pada bulan ini
musim kemarau telah lenyap dan digantikan oleh kehadiran monsun Asia yang
basah.
Kondisi pola angin
bulan Nopember sangat menarik untuk disimak, terlihat daerah ITCZ mulai
berpindah ke khatulistiwa. Munculnya kembali daerah ITCZ ini lebih diakibatkan
tekanan monsun Asia karena perpindahan posisi lintang matahari. Selain ITCZ,
hampir diseluruh wilayah Indonesia terjadi penurunan kecepatan angin yang
mendorong timbulnya aktivitas gangguan lokal untuk mempe¬ngaruhi intensitas
hujan. Dari pola OLR terlihat pengurangan luas daerah konveksi di sebelah
selatan Indonesia. Selain itu daerah konvektif di Sumatera dan Riau kepulauan
juga mengalami peningkatan nilai OLR. Hal ini dapat dimengerti dari pola hujan
bulan ini.
12. Desember
Dalam bulan terakhir
ini dapat dilihat bahwa pola monsun Asia dominan di bagian barat Indonesia
hingga Sulawesi selatan. Data penakar di Makasar menunjukkan timbulnya pengaruh
Fohn effect. Sedangkan situasi monsun Australia sudah menghilang sama sekali.
Peningkatan intensitas hujan terjadi hampir di seluruh wilayah. Mengikuti pola
sebelumnya daerah yang intensitas hujan minimal terjadi di Maluku dan Irian.
Dari pola angin terlihat perpindahan lokasi ITCZ lebih ke selatan dan semakin
dominannya aliran angin dari Asia. Kecuali Nusa Tenggara, maka seluruh wilayah
Indonesia dipengaruhi oleh monsun Asia. Perlu dicatat juga mulai timbulnya
pengaruh siklon tropis di utara Australia. Mulai dominannya angin dari Asia
juga dapat dijelaskan dengan pola suhu permukaan. Dari pola suhu permukaan
terlihat bahwa di belahan bumi selatan suhu permukaan lebih tinggi dari belahan
bumi utara. Malah di benua Australia, suhu permukaan lebih tinggi dari 303oK.
Dari pola OLR juga terlihat tidak adanya daerah non konvektif. Wilayah dengan
nilai OLR rendah sudah menyingkir jauh dari wilayah Nusa Tenggara. Angin di
selatan Indonesia juga berkecepatan rendah, yang memudahkan timbulnya pengaruh
gangguan lokal. Wilayah dengan nilai OLR tinggi meluas, seperti di Irian Jaya
dapat dimengerti dengan melihat pola hujan bulanan pada bulan ini dimana
intensitas curah hujan turut meningkat.
Hutan
Hujan Tropis Indonesia Sebagai Potensi Dunia
Korelasi Positif Pasca
KTT Perubahan Iklim 2009
Hutan di wilayah
Indonesia ada yang dikategorikan sebagai hutan hujan tropika. Artinya adalah
potensi hutan Indonesia termasuk yang menjadi potensi dunia. Seperti yang ada
di Pulau Sumatera ada dataran rendah yang terdiri dari hutan pantai, mangrove.
Jakarta – Begitu pula
Papua dan Kalimantan yang didiami oleh berjuta-juta spesies ekologi langka
mulai dari keanekaragaman flora dan fauna.
Hutan menjadi penghasil
karbon dan tidak saja bernilai ekonomis tapi secara geografif dan manajemen
siklus air menjadi salah satu mata rantai yang mampu menahan air sehingga kerap
dituding sebagai tangki alam untuk bumi. Pepohonan yang lebat dan rindang
menjadi tempat hidup beratus satwa liar mulai dari spesies kera, monyet, burung,
hewan melata dan berbagai tanaman menjalar. Dunia mengakui kualitas kayu dari
pohon-pohon Indonesia sehingga rentang dari pembalakan liar tapi dengan adanya
program konservasi dan proyek nasional cagar alam. Tidak boleh lagi ada
mismanagement dalam penanganannya.
Menurut Wikipedia,
hutan hujan ialah hutan tropis yang banyak menerima hujan. Biasanya memiliki
banyak tanaman dan hewan. Para ilmuwan mengatakan lebih dari separuh spesies
tanaman dan binatang tinggal di hutan hujan. Juga lebih dari 1/4 obat-obatan
berasal dari sini. Hutan hujan hanya meliputi wilayah sekitar 2% dari wilayah
tanah bumi, namun hutan hujan masih menyediakan 40% oksigen. Hutan hujan
mendapatkan hujan rata-rata 50 sampai 250 inch setahun. Pada tahun-tahun hangat
jarang mencapai suhu di atas 93 F atau di bawah 68 F. Memiliki kelembaban
rata-rata 77% sampai 88%
Hutan hujan memiliki
hamparan dedaunan hijau yang busuk di tanah carpet. Ini disebut lapisan humus.
Hutan hujan tropis merupakan salah satu jenis hutan yang ada di dunia, hutan
hujan tropis sering disebut sebagai hutan tropis basah. Atas dasar pembagian
daerah secara iklim menurut Koppen, zona hutan hujan tropis ini termasuk yang
memiliki iklim Af, yang memiliki ciri-ciri utama antara lain: memiliki banyak
curah hujan antara 2.000 sampai dengan 5.000 mm/tahun, dengan pola curah hujan
tersebut dapat dipastikan Indonesia khususnya daerah Pulau Kalimantan merupakan
daerah yang memiliki hutan hujan tropis ini. Demikian pula Papua dan Pulau
Sumatera.
Menurut asal-usul
pembentukan hutan hujan tropis, diperoleh bahwa hutan hujan tropis merupakan
komunitas hasil interaksi antara iklim regional dan biota regional. Vegetasi
hutan hujan tropis tidak akan pernah mengalami gugur daun seperti hutan yang
ada di daerah-daerah subtropis, seperti sebagian besar Eropa, Asia Timur, dan
daerah Asia Barat. Sehingga dedaunan yang hidup didaerah hutan hujan tropis
akan selalu berwarna hijau sepanjang tahun (evergreen). Vegetasi yang ada
didaerah hutan hujan tropis ini mayoritas ditumbuhi oleh tumbuhan berkayu dan
berukuran pohon, memiliki batang bebas cabang antara 30 sampai dengan 50 meter
dari permukaan tanah, banyak ditemukan berbagai tumbuhan epifit serta Liana
(tumbuhan memanjat) berkayu. Contohnya: Anggrek (Orchidaceae) dan rotan
(Calamae), merupakan keluarga palem yang hidup memanjat pada tumbuhan lain
biasanya pada tumbuhan berkayu.
Jika dibandingkan
dengan jenis hutan lain didunia, hutan hujan tropis memiliki keanekaragaman
jenis flora dan fauna yang relatif tertinggi didunia. Keanekaragaman pohon
dengan diameter lebih dari 10 cm dapat mencapai lebih dari 100 jenis/ha. Salah
satu flora yang hidup di Kalimantan Tengah adalah kelakai (Stenochiaena
palustris). Dengan ciri sistem kehidupan di dalamnya dibandingkan dengan sistem
kehidupan lainnya secara alami hutan hujan tropis merupakan ekosistem hutan
yang paling stabil didunia. Keanekaragaman jenis yang hidup dihutan hujan
tropis ini sangat tinggi. Fauna hutan hujan tropis menempati semua lapisan
tajuk. Kebanyakan hewan yang hidup merupakan hewan nokturnal (hewan yang aktif
pada malam hari) dan arboreal (hewan yang hidup dipohon).
Hutan hujan tropis
memiliki fungsi yang vital bagi keberlangsungan hidup semua makhluk yang ada di
bumi, dalam hal iklim dunia. Hutan hujan tropis sangat membantu sekali dalam
hal menstabilkan iklim dunia dengan cara menyerap karbon dioksida yang ada
diatmosfer, sehingga mengurangi pula dalam hal efek rumah kaca. Hutan hujan
tropis juga merupakan rumah atau habitat bagi keberlangsungan hidup bagi
makhluk hidup yang tinggal didalamnya, termasuk flora dan fauna yang terancam
punah keberlangsungan hidupnya. Pada saat banyak pihak yang tidak bertanggung
jawab melakukan penebangan hutan secara liar (ilegal logging), hal ini dapat
mengakibatkan kepunahan berbagai spesies yang hidup.
Selain fungsi fungsi
tersebut ada pula fungsi yang sangat vital, yaitu sebagai suatu sistem
peredaran hidrologi bagi bumi. hal ini menggambarkan pergerakkan yang
berkelanjutan dari air dibawah, dipermukaan, dan diatas bumi. Jadi tidak heran
jika hutan hujan tropis yang masih “perawan” memiliki sungai-sungai yang lebar
serta panjang. Pantas saja Indonesia memiliki kepentingan pasca KTT
Kopenhagen-Denmark yang baru saja berlalu dengan 5 Usulan Plus 1 yaitu Forest
Management dimana dunia harus memberikan kompensasi atau bantuan dari
konservasi yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta yang tentu saja akan
berdampak jangka panjang untuk BUMI serta manusia yang mendiaminya.
Perubahan
Curah Hujan Di Indonesia
Endapan (presipitasi)
didefinisikan sebagai bentuk air cair dan padat (es) yang jatuh ke permukaan
bumi. Hujan adalah bentuk endapan yang sering dijumpai, dan di Indonesia yang
dimaksud dengan endapan adalah curah hujan. Hujan merupakan unsur iklim yang
paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut
waktu maupun tempat, sehingga kajian tentang iklim lebih banyak diarahkan pada
hujan. Hujan adalah salah satu bentuk dari presipitasi, menurut Lakitan (2002)
presipitasi adalah proses jatuhnya butiran air atau kristal es ke permukaan bumi.
Tjasyono (2004)
mendefinisikan presipitasi sebagai bentuk air cair dan padat (es) yang jatuh ke
permukaan bumi dimana kabut, embun dan embun beku bukan merupakan bagian dari
presipitasi (frost) walaupun berperan dalam alih kebasahan (moisture). Jumlah
curah hujan dicatat dalam inci atau milimeter (1 inci = 25,4 mm). Jumlah curah
hujan 1 mm, menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi permukaan bumi 1 mm,
jika air tersebut tidak meresap ke dalam tanah atau menguap ke atmosfer
(Tjasyono, 2004). Menurut Arsyad (1989) Tinggi curah hujan diasumsikan sama
disekitar tempat penakaran, luasan yang tercakup oleh sebuah penakar curah
hujan tergantung pada homogenitas daerahnya maupun kondisi cuaca lainnya.
Curah hujan mempunyai
variabilitas yang besar dalam ruang dan waktu. Berdasarkan skala ruang,
variabilitasnya Sangat dipengaruhi oleh letak geografi (letak terhadap lautan
dan benua), topografi, ketinggian tempat, arah angin umum, dan letak lintang.
Keragaman curah hujan
terjadi juga secara lokal di statu tempat, yang disebabkan oleh adanya
perbedaan kondisi topografi seperti adanya bukit, gunung atau pegunungan yang
menyebabkan penyebaran hujan yang tidak merata. Berdasarkan skala waktu,
keragaman/variasi curah hujan dibagi menjadi tipe harian, musiman (bulanan),
dan tahunan. Variasi curah hujan harian dipengaruhi oleh faktor lokal
(topografi, tipe vegetasi, drainase, kelembaban, warna tanah, albedo, dan
lain-lain). Variasi bulanan atau musiman dipengaruhi oleh angin darat dan angin
laut, aktivitas konveksi, arah aliran udara di atas permukaan bumi, variasi
sebaran daratan dan lautan. Sedangkan variasi tahunan dipengaruhi oleh perilaku
sirkulasi atmosfer global, kejadian badai, dan lain-lain (Ruminta(1989), dalam
Erwin, M(2001)).
Hujan siklonal, yaitu hujan yang
terjadi karena udara panas yang naik disertai dengan angin berputar.
Hujan zenithal, yaitu hujan yang
sering terjadi di daerah sekitar ekuator, akibat pertemuan Angin Pasat Timur
Laut dengan Angin Pasat Tenggara. Kemudian angin tersebut naik dan membentuk
gumpalan-gumpalan awan di sekitar ekuator yang berakibat awan menjadi jenuh dan
turunlah hujan.
Hujan orografis,
yaitu hujan yang terjadi karena angin yang mengandung uap air yang bergerak
horisontal. Angin tersebut naik menuju pegunungan, suhu udara menjadi dingin
sehingga terjadi kondensasi. Terjadilah hujan di sekitar pegunungan.
Hujan frontal,
yaitu hujan yang terjadi apabila massa udara yang dingin bertemu dengan massa
udara yang panas. Tempat pertemuan antara kedua massa itu disebut bidang front.
Karena lebih berat massa udara dingin lebih berada di bawah. Di sekitar bidang
front inilah sering terjadi hujan lebat yang disebut hujan frontal.
Hujan muson,
yaitu hujan yang terjadi karena Angin Musim (Angin Muson). Penyebab terjadinya
Angin Muson adalah karena adanya pergerakan semu tahunan Matahari antara Garis
Balik Utara dan Garis Balik Selatan. Di Indonesia, secara teoritis hujan muson
terjadi bulan Oktober sampai April. Sementara di kawasan Asia Timur terjadi
bulan Mei sampai Agustus.
Secara umum curah hujan
di wilayah Indonesia didominasi oleh adanya pengaruh beberapa fenomena, antara
lain sistem monsoon Asia-Australia, El-Nino, sirkulasi Timur-Barat (Walker
Circulation) dan Utara-Selatan (Hadley Circulation) serta beberapa sirkulasi
karena pnegaruh local (Mcbride, 2002). Variabilitas curah hujan di Indonesia
sangatlah kompleks dan merupakan suatu bagian “chaotic” dari variabilitas
monsoon (Ferranti (1997), dalam Aldrian (2003). Monsun dan pergerakan ITCZ
(Intertropical Convergence Zone) berkaitan dengan variasi curah hujan tahunan
dan semi-tahunan di Indonesia (Aldrian, 2003), sedangkan fenomena El-Nino dan
Dipole Mode berkaitan dengan variasi curah hujan antar-tahunan di Indonesia.
Pola umum curah hujan
di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh letak geografis. Secara rinci pola
umum hujan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut :
Pantai sebelah barat setiap pulau
memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak daripada pantai sebelah timur.
Curah hujan di Indonesia bagian barat lebih
besar daripada Indonesia bagian timur. Sebagai contoh, deretan pulau-pulau
Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang dihubungkan oleh selat-selat sempit, jumlah curah
hujan yang terbanyak adalah Jawa Barat.
Curah hujan juga bertambah sesuai dengan ketinggian
tempat. Curah hujan terbanyak umumnya berada pada ketinggian antara 600 – 900 m
di atas permukaan laut.
Di daerah pedalaman, di semua pulau musim
hujan jatuh pada musim pancaroba. Demikian juga halnya di daerah-daerah rawa
yang besar.
Bulan maksimum hujan sesuai dengan letak
DKAT.
Saat mulai turunnya hujan bergeser dari
barat ke timur seperti:
a) Pantai
barat pulau Sumatera sampai ke Bengkulu mendapat hujan terbanyak pada bulan
November.
b) Lampung-Bangka
yang letaknya ke timur mendapat hujan terbanyak pada bulan Desember.
c) Jawa
bagian utara, Bali, NTB, dan NTT pada bulan Januari – Februari.
Di Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi
Tenggara, Maluku Tengah, musim hujannya berbeda, yaitu bulan Mei-Juni. Pada
saat itu, daerah lain sedang mengalami musim kering. Batas daerah hujan
Indonesia barat dan timur terletak pada kira-kira 120( Bujur Timur. Grafik
perbandingan empat pola curah hujan di Indonesia dapat Anda lihat pada gambar
dibawah ini.
Rata-rata curah hujan
di Indonesia untuk setiap tahunnya tidak sama. Namun masih tergolong cukup
banyak, yaitu rata-rata 2000 – 3000 mm/tahun. Begitu pula antara tempat yang
satu dengan tempat yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama.
Tjasyono (1999)
menyatakan Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi 3 pola iklim utama dengan
melihat pola curah hujan selama setahun. Hal ini didukung oleh Aldrian dan
Susanto (2003) yang telah mengklasifikasi Iklim Indonesia sebagai berikut: Pola
curah hujan di wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pola Monsoon,
pola ekuatorial dan pola lokal. Pola
Moonson dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak
musim hujan yaitu sekitar Desember).
Selama enam bulan curah hujan relatif tinggi (biasanya disebut musim
hujan) dan enam bulan berikutnya rendah (bisanya disebut musim kemarau).
Secara umum musim
kemarau berlangsung dari April sampai September dan musim hujan dari Oktober
sampai Maret. Pola equatorial dicirikan
oleh pola hujan dengan bentuk bimodal, yaitu dua puncak hujan yang biasanya
terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober saat matahari berada dekat
equator. Pola lokal dicirikan oleh
bentuk pola hujan unimodal (satu puncak hujan) tapi bentuknya berlawanan dengan
pola hujan pada tipe moonson. Wilayah Indonesia disepanjang garis khatulistiwa
sebagian besar mempunyai pola hujan equatorial, sedangkan pola hujan moonson
terdapat di pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, dan sebagian Sumatera. Sedangkan salah
satu wilayah mempunyai pola hujan lokal adalah Ambon (Maluku).
Monsun
Monsun merupakan angin
yang bertiup sepanjang tahun dan berganti arah dua kali dalam setahun. Umumnya
pada setengah tahun pertama bertiup angin darat yang kering dan setengah tahun
berikutnya bertiup angin laut yang basah. Pada bulan Oktober – April, matahari
berada pada belahan langit Selatan, sehingga benua Australia lebih banyak
memperoleh pemanasan matahari dari benua Asia. Akibatnya di Australia terdapat
pusat tekanan udara rendah (depresi) sedangkan di Asia terdapat pusat-pusat
tekanan udara tinggi (kompresi). Keadaan ini menyebabkan arus angin dari benua
Asia ke benua Australia. Di Indonesia angin ini merupakan angin musim Timur
Laut di belahan bumi Utara dan angin musim Barat di belahan bumi Selatan. Oleh
karena angin ini melewati Samudra Pasifik dan Samudra Hindia maka banyak
membawa uap air, sehingga pada umumnya di Indonesia terjadi musim penghujan.
Musim penghujan meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia, hanya saja
persebarannya tidak merata. Makin ke Timur curah hujan makin berkurang karena
kandungan uap airnya makin sedikit.
Ada dua ciri utama
daripada iklim Monsun, yakni adanya perbedaan yang tegas antara musim basah
(wet season) dan musim kering (dry season) yang umumnya terjadi pada periode
Desember, Januari, dan februari (DJF) dan Juni, Juli dan Agustus (JJA). Pada
tahun 1686, Edmund Halley mengemukakan teori bahwa Monsun terjadi akibat adanya
perbedaan panas antara daratan dengan lautan sebagai hasil dari zenithal march
matahari (Chang, 1984). Kata Monsun biasanya digunakan hanya untuk system angin
(Neuwolt,1977). Ramage(1971) memberikan kriteria untuk areal Monsun berdasarkan
sirkulasi permukaan bulan Januari dan Juli sebagai berikut:
Angin yang dominan pada periode bulan
Januari dan Juli memiliki perbedaan arah sedikitnya 1200
Frekwensi rata-rata angin dominan pada
bulan Januari dan Juli melebihi 40%
Rata-rata kecepatan resultan angin pada
salah satu bulan tersebut (Januari dan Juli) melebihi 10 m/s
Chang (1984) menyatakan
angin dalam sistem Monsun tersebut harus ditimbulkan akibat efek thermal, dan
bukan dari pergerakan akibat angin dalam skala planetan dan pressure belt.
Ramage (1971) mengemukakan bahwa ada dua sistem Monsun di Asia, yaitu Monsun
Musim Dingin Asia Timur (the East Asian Winter Monsun) dan Monsun Musim Panas
Asia Selatan (the South Asian Summer Monsun). Pada musim dingin, massa udara
mengalir dari pusat tekanan tinggi ke pusat tekanan rendah ke
arah selatan dan tenggara melewati Korea, Cina, dan Jepang. Massa udara
yang kearah tenggara mengalami konvergensi di Laut Cina selatan dengan massa
udara timur laut dari Samudra Pasifik. Kemudian dua massa udara (massa udara
yang mengalami konvergensi massa udara yang ke arah Selatan) bergabung menuju
Tenggara dan membentuk Monsun Timur Laut dan selanjutnya berubah menjadi
baratan di Indonesia (setelah melewati ekuator).
Monsun Winter
Pola angin Monsun pada
saat musim dingin (winter) (NASA, 2009)
Pada musim panas, pusat
tekanan rendah berada di sebelah timur laut India, tetapi Monsun mulai
berkembang di Cina Selatan, kemudian ke Birma dan beberapa bulan kemudian
berkembang di India (Barry dan Chorley, dalam Nieuwolt, 1977).
Monsun Summer
Pola angin Monsun pada
saat musim panas (summer) (NASA, 2009)
Ada tiga sumber massa
udara selama berlangsungnya Monsun pada musim panas. Sumber massa udara yang
pertama berasal dari Samudra Hindia di selatan ekuator. Massa udara ini
bersifat lembab, hangat dan tidak stabil yang mengalami konvergensi setelah
mendekati ekuator. Sumber massa udara yang kedua adalah tekanan tinggi di Australia.
Massa udara ini bersifat stabil dan kering dan kondisi ini berlangsung sampai
di Tenggara Indonesia dan lebih barat lagi, massa udara ini menjadi bersifat
lembab dan tidak stabil. Massa udara ketiga berasal dari Samudra Pasifik yang
bersifat lembab, hangat dan relatif stabil. Namun setelah melewati samudra
hangat massa udara tersebut menjadi tidak stabil.
Asia Timur dan Asia
sebelah Selatan mempunyai sirkulasi Monsun yang terbesar dan paling berkembang.
Sedangkan Monsun Asia Timur dan tenggara adalah Monsun yang berkembang dengan
baik dan Monsun di Indonesia merupakan bagian dari Monsun Asia Timur dan Asia
Tenggara. Hal ini disebabkan oleh besarnya Benua Asia dan efek dari daratan
tinggi Tibet terhadap aliran udara (Prawirowardoyo,1996). Trewartha (1995)
mengemukakan massa daratan yang sangat luas di benua Asia memperhebat perbedaan
yang timbul dari selisih pemanasan dan pendinginan antara daratan dan lautan.
Lebih jauh, Asia yang membentang dari Timur-barat pada kisaran lebar dari garis
bujur di hemisfer Utara, sedangkan di hemisfer Selatan terutama adalah samudera
di Selatan Equator. Akibatnya bagian terbesar dari perbedaan pemanasan yang
menyebabakan sirkulasi Monsun, meliputi juga perbedaan utara-selatan, jadi
memperkuat pergeseran normal menurut garis lintang dari sistem-sistem angin
utama. Karena adanya deretan pegunungan yang sangat tinggi di Asia yang
terentang arah Timur-Barat yaitu arah Timur Laut Kaspia ke China, sirkulasi
meridional udara sangat terhambat. Hal ini membuat perbedaan musiman dalam
temperatur dan tekanan yang lebih dramatis lagi.
Selama musim dingin
massa daratan disebelah utara pegunungan itu menjadi demikian dingin hingga
menghasilkan sistem tekanan tinggi yang kuat di atas Asia Timur Laut dan suatu
aliran keluar udara dingin yang cukup menonjol dari Asia Timur (Trewartha,
1995). Di lain pihak, pemanasan intensif musim panas atas daratan subtropis
yang terletak di sebelah selatannya deretan pegunungan itu, melahirkan suatu
kawasan tekanan rendah dan suatu aliran inflow udara hangat yang kuat dan
lembab ke Asia Selatan.
Pada musim dingin di
belahan bumi utara (BBU), yaitu pda bulan Desember, Januari, dan februari angin
Monsun bertiup dari Siberia menuju ke benua Australia. Pada periode ini daerah
yang membentang dari ujung Sumatera bagian selatan, jawa, Bali, Lombok, Nusa
Tenggara sampai ke Irian angin Monsun bertiup dari barat ke timur.
Pola aliran udara
rata-rata pada ketinggian 2000 kaki di bulan Januari merupakan bulan maksimum
dari musim dingin di belahan bumi utara (BBU). Oleh sebab itu daerah ini
dinamakan Monsun Barat dan musimnya disebut Musim Monsun Barat, sedangkan di
daerah yang mencakup sebagian besar Sumatera lainnya dan Kalimantan Barat angin
Monsun datang dari arah Timur Laut. Oleh karena itu, angin Monsun dai daerah
ini disebut Monsun Timur Laut dan Musimnya disebut Musim Monsun Timur Laut.
Pada musim panas di
belahan bumi utara (BBU), terjadi sebaliknya angin Monsun berhembus dari benua
Australia menuju ke Asia. Oleh karena itu disebut Monsun Timur dan musimnya
dinamakan Musim Monsun Timur, sedangkan di daerah yang melingkupi bagian
Sumatera lainnya dari Kalimantan Barat angin Monsun bertiup dari arah barat
daya ke timur laut sehingga angin Monsun ini disebut Monsun Barat Daya dan
musimnya disebut Musim Monsun Barat Daya. Pola aliran udara rata-rata pada
ketinggian 2000 kaki pada bulan maksimum musim padan di belahan bumi utara
(BBU) yaitu bulan Juli Prawirowardoyo,1996)
Indian Ocean Dipole
Mode (IODM)
IODM adalah sebuah
fenomena samudra dan atmosfer di Samudera Hindia ekuator yang ditandai dengan
anomali negatif suhu permukaan laut di Sumatera dan anomali suhu positif di
bagian barat Samudera Hindia (Saji et al, 1999). IODM diasosiasikan dengan
perubahan angin tenggara di Samudra Hindia sehingga akan mempengaruhi daerah
konvektif di ekuator, Sirkulasi Walker, dan presipitasi.
Indikator yang
digunakan untuk mengidentifikasi fenomena IODM adalah Dipole Mode Index (DMI).
DMI merupakan gradien anomali suhu permukaan laut bagian barat dan bagian timur
Samudera Hindia. Saji et al (1999) mempelajari posisi titik anomali suhu
permukaan laut (dipole) di Samudera Hindia tropis bagian barat (50OE – 70OE,
10OS – 10oN) dengan Samudera Hindia tropis bagian timur (90OE – 110OE, 10OS –
ekuator). DMI positif (+) terjadi saat anomali suhu muka laut Samudera Hindia
tropis bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya, akibatnya terjadi
peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera
Hindia bagian barat sedangkan di Benua Maritim Indonesia (BMI) mengalami
penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan kekeringan. Kondisi
sebaliknya terjadi pada saat DMI negatif (-), seperti yang dikemukakan Ashok et
al (2001) (Gambar 2).
Anomali suhu permukaan
laut selama kejadian-kejadian IODM berhubungan erat dengan anomali angin
permukaan di tengah bagian ekuator Samudera Hindia (Saji dan Yamagata 2003).
Saji et al (1999) menjelaskan bahwa IODM menguat pada bulan Mei dan mencapai
puncaknya pada bulan Oktober-November (Gambar 3). Siklus IODM diawali dengan munculnya
anomali suhu muka laut negatif di sekitar selat Lombok hingga selatan Jawa pada
bulan Mei hingga Juni, bersamaan dengan itu, terjadi anomali angin tenggara
yang lemah di sekitar Jawa dan Sumatera. Pada bulan Juli hingga Agustus,
anomali suhu muka laut negatif terus menguat dan meluas sampai ke ekuator di
sepanjang pantai selatan Jawa hingga pantai barat Sumatera. Pada bulan Juni ini
juga mulai muncul anomali suhu muka laut positif di Samudera Hindia bagian
barat. Adanya dua titik anomali (dipole) di Samudera Hindia ekuatorial ini,
semakin memperkuat anomali angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat
Sumatera. Siklus ini mencapai puncaknya pada bulan Oktober, dan selanjutnya
menghilang dengan cepat pada bulan November-Desember.
El Nino Southern
Oscillation (ENSO)
Salah satu penyebab
perubahan curah hujan di Indonesia, termasuk juga di sebagian besar belahan
dunia adalah El Nino Southern Oscillation (ENSO) atau sering disebut El Nino.
Fenomena El Nino ditandai oleh terjadinya pergeseran kolam hangat yang biasanya
berada di perairan Indonesia ke arah timur (Pasifik Tengah) yang diiringi oleh
pergeseran lokasi pembentukan awan yang biasanya terjadi di wilayah Indonesia
ke arah timur yaitu di Samudra Pasifik Tengah. Dengan bergesernya lokasi pembentukan
awan tersebut, maka timbul kekeringan yang berkepanjangan di Indonesia. Kondisi
yang berlawanan dengan El Nino disebut La Nina, yang sering diasosiasikan
dengan kejadian banjir di Indonesia.
ENSO
merupakan fenomena interaksi dari lautan dan atmosfer di Samudera Pasifik
dimana EL Nino adalah fenomena lautan dan Southern Oscillation adalah fenomena
atmosfer. Indikator yang digunakan untuk mengatahui enso adalah Indeks Osilasi
Selatan (SOI) dan anomali suhu permukaan laut (SPL) di Samudera Pasifik. Anomali
SPL di pasifik ekuator berkaitan erat dengan Sirkulasi Walker. Daerah dengan
SPL tinggi merupakan pusat tekanan udara rendah dan merupakan daerah konvektif,
sehingga menjadi penggerak utama Sirkulasi Walker selanjutnya. Pada Sirkulasi
Walker normal (Gambar 4.a), titik konvektif berada pada wilayah Indonesia,
Amerika, dan Afrika di sepanjang ekuator. Namun dengan pergeseran SPL tinggi
dari Indonesia ke arah timur pada saat terjadi El Nino, maka titik konvektif
pun bergeser mengikuti SPL sehingga terjadi perubahan Sirkulasi Walker.
Fenomena ini dikenal sebagai elnino (Gambar 4.b). Fenomena yang berkebalikan
dengan kejadian elnino adalah La Nina, yaitu bergesernya daerah SPL tinggi ke
barat, sehingga terjadi perubahan titik konvektif ke barat pula.
Kuat lemahnya ENSO
diukur dari selisih tekanan udara antara Pasifik tropis bagian barat dan
Pasifik bagian timur. Indek Osilasi Selatan (SOI, Southern Oscillation Index)
biasa digunakan untuk menyatakan kuat lemahnya osilasi, yang menunjukkan
selisih tekanan udara antara Darwin dan Tahiti. Pemilihan lokasi Darwin dan
Tahiti dikarenakan karena dua lokasi tersebut memiliki data tekanan udara
harian yang panjang dan terbaik (Partridge dan Ma’shum et al 2002). Nilai SOI
negatif terjadi ketika tekanan udara di Tahiti lebih rendah daripada tekanan
udara Darwin. Kondisi SOI negatif yang kuat (ekstrim) menandakan fenomena EL
Nino, sebaliknya SOI postif kuat menandakan fenomena La Nina.
Beberapa kajian telah
menemukan bahwa pengaruh Osilasi Selatan sangat kuat terhadap wilayah yang
memiliki pola hujan monsun, pengaruh sedang pada wilayah yang berpola hujan
ekuatorial, dan pengaruh yang beragam (tidak jelas) pada pola hujan lokal.
Beberapa kajian telah menemukan bahwa pengaruh Osilasi Selatan sangat kuat
terhadap wilayah yang memiliki pola hujan monsun, pengaruh sedang pada wilayah
yang berpola hujan ekuatorial, dan pengaruh yang beragam (tidak jelas) pada
pola hujan lokal.
Pengaruh ENSO terhadap
curah hujan di Indonesia bagian timur tidaklah konsisten sepanjang abad yang
lalu. Artinya, tidak semua kekeringan disebabkan oleh El Nino, atau seluruh El
Nino menyebabkan kekeringan yang luas, dan seluruh La Nina menyebabkan banjir.
Keterkaitan curah hujan dengan ENSO pernah paling kuat terjadi pada periode
1891 hingga 1920 dan 1940 hingga sekarang, tetapi keterkaitan tersebut agak
melemah pada periode 1921 hingga 1940 (Partridge dan Ma’shum et al 2002).
Selain itu, pengaruh Boer (2003) menemukan bahwa pengaruh El-Nino lebih kuat
terhadap hujan pada musim kemarau dari pada hujan pada musim hujan (Gambar 5).
Demikian juga dengan pengaruh dari La Nina, yang juga lebih kuat pada hujan
musim kemarau dari pada musim hujan (Gambar 5). Pengaruh El Nino dan La Nina
pada peningkatan curah hujan pada musim hujan tidak begitu jelas. Secara rata-rata
penurunan hujan dari normal akibat terjadinya El Nino dapat mencapai 80 mm per
bulan sedangkan peningkatan hujan dari normal akibat terjadinya La Nina tidak
lebih dari 40 mm.
Hubungan IODM, ENSO dan
Curah Hujan di Indonesia
Fenomena IODM dan ENSO
memiliki pengaruh yang jelas terhadap variasi curah hujan di Indonesia, namun
besar-kecil pengaruhnya beragam dari satu tempat ke tempat yang lain. Saji
(2000) menyatakan bahwa fenomena IODM merupakan hal yang terpisah dari ENSO.
Pada suatu saat salah satu dari kedua fenomena tersebut menjadi dominan
terhadap faktor lain, dan di saat lainnya memiliki pengaruh yang sama kuat (Li
et al 2003). Studi yang dilakukan Yamagata et al (2003) menyimpulkan bahwa
secara garis besar pengaruh IODM di wilayah Indonesia menurun ke arah timur,
sementara pengaruh ENSO menurun ke arah barat. Beberapa literatur juga
menyebutkan bahwa pengaruh El Nino kuat pada daerah yang berpola hujan monsun,
lemah pada daerah berpola hujan equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan
pola hujan lokal, sedangkan IODM hanya berpengaruh jelas pada daerah berpola
hujan monson.
Berdasarkan koefisien
kemiripan curah hujannya, Liong et al (2003) mengelompokkan wilayah Indonesia
menjadi 3, yaitu SEAM (South East Asia Monsoon) yang pola hujannya dipengaruhi secara
kuat oleh tekanan di atas benua Asia, NAIM (North Australia Indonesia Monsoon)
yang pola hujannya dipengaruhi secara kuat oleh tekanan di atas benua Australia
dan MC(Maritime Continent) yang mempunyai pola hujan ekuator. Dari besar
koefisien kemiripan dapat dilihat bahwa tidak ada daerah kepulauan Indonesia
yang mempunyai koefisien kemiripan lebih besar daripada 0.5 untuk dapat
dinyatakan terkelompok sebagai SEAM. Pulau Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi
Selatan terkelompok sebagai NAIM. Kepulauan lainya akan terkelompok sebagai MC.
Pengelompokan ini dibuat untuk memperjelas pengaruh ENSO pada prediksi
kekeringan di Indonesia.
Liong et al (2003)
mengatakan bahwa pengaruh ENSO cukup kuat untuk berbagai tempat di Indonesia.
Dengan melihat anomali SPL (suhu permukaan laut) pada Nino 3.4, perioda 1961
sampai dengan 2001, wilayah MC bagian timur mempunyai koefisien korelasi
sekitar –0,6 pada waktu terjadi El Nino, sedangkan wilayah NAIM hanya sekitar
–0.3. Untuk wilayah MC bagian barat dan SEAM (South East Asia Monsoon) masih
belum ada kesimpulan yang jelas karena ada yang berkorelasi –0.7 untuk Padang
pada tahun El Nino 97/98 tetapi berkorelasi –0.2 pada tahun El Nino 82/83
demikian juga untuk Medan berkorelasi –0.45 pada tahun 97/98 tetapi berkorelasi
0.11 pada tahun 82/83, sehingga dapat dikatakan korelasinya dengan El Nino
sangat lemah.
Untuk Maritime
Continent barat khususnya Jawa Barat dan Sumatra Selatan pengaruh IODM
diperhitungkan. Pada umumnya ketika terjadi El Nino, DMI (Dipole Mode Index)
positif sehinga efeknya saling memperkuat tetapi ada kasus ketika bukan tahun
El Nino Indonesia kering, ternyata ketika itu DMI positif, jadi tahun Indonesia
kering ketika bukan tahun El Nino dapat dijelaskan dari pengaruh IODM (Gambar
6). Menurut Hendon (2003), variabilitas SPL di Nino 3.4 diperkirakan
mempengaruhi 50% variasi curah hujan seluruh Indonesia, sedangkan variabilitas
SPL di Samudera Hindia hanya mempengaruhi 10-15% curah hujan di seluruh
Indonesia.
IODM berkaitan erat
dengan variabilitas suhu dan curah hujan di wilayah yang dekat dengan Samudra
Hindia. Ashok et al (2001, 2003) telah mempelajari bahwa kejadian-kejadian IODM
positif mungkin meningkatkan curah hujan monsun musim panas di India. Pada
dasarnya IODM merupakan fenomena sistem gabungan atmosfer dan laut yang
memiliki mekanisme fisis yang mirip dengan ENSO, akan tetapi secara statistik
tidak bergantung pada ENSO (Saji et al 1999; Ashok et al 2001).
Ketidakbergantungan IODM terhadap ENSO salah satunya ditunjukkan oleh adanya
kejadian IODM yang independen terhadap ENSO seperti tahun 1961 dan 1967 (Saji
et.al, 1999). Pendataan kejadian ENSO dan IODM telah dilakukan oleh Saji dan
Yamagata (2003) sbb:
Penemuan menarik yang
dilakukan Behera dan Yamagata (2002) mengindikasikan bahwa terdapat pengaruh
yang cukup kuat antara kejadian IODM dengan ENSO. Dengan menggunakan analisis
korelasi parsial, telah ditemukan bahwa DMI memiliki korelasi puncak sebesar
0.4 dengan indeks tekanan udara Darwin, yang merupakan kutub barat (western
pole) dari ENSO. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa tidak ada korelasi yang
terjadi antara DMI dengan tekanan udara bagian timur Pasifik. Hal ini
mengindikasikan bahwa pada saat-saat tertentu, kejadian IODM memberikan
pengaruh terhadap timbulnya ENSO.