Minggu, 24 April 2011

Pola Curah Hujan


POLA UMUM CURAH HUJAN

Sejak ditemukan pertama kali oleh Saji et al pada tahun 1999, kajian dampak IODM (Indian Ocean Dipole Mode) terhadap iklim global dan regional telah banyak dilakukan. Diantaranya adalah yang spesifik terhadap variasi iklim terutama curah hujan, di Indonesia. Dampak IODM pada dasarnya hampir mirip dengan fenomena El Nino dan La Nina dari ENSO. Pada saat anomali suhu permukaan laut Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya, maka akan terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat, sedangkan di Benua Maritim Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan kekeringan. Kondisi ini juga berlaku sebaliknya, sehingga menyebabkan curah hujan di Indonesia lebih tinggi dari normalnya.
Variabilitas curah hujan Indonesia terkait erat dengan kejadian IODM, ENSO dan sistem monsun Indonesia. Fenomena IOD, ENSO dan monsun dalam mempengaruhi curah hujan di Indonesia tidak terjadi secara bersamaan. Pada suatu saat salah satu fenomena menjadi dominan dibandingkan fenomena yang lain. Namun pada waktu lain, ketiga fenomena tersebut terjadi dengan pengaruh yang sama kuat. Indonesia bagian barat akan dipengaruhi besar oleh fenomena IODM, sedangkan bagian timur akan dipengaruhi oleh ENSO. Dalam studi global yang dilakukan Yamagata et al (2003) telah disimpulkan secara garis besar bahwa pengaruh IODM di wilayah indonesia menurun ke arah timur, sementara pengaruh ENSO menurun ke arah barat.
Selain berpengaruh terhadap variabilitas curah hujan secara independen, IODM juga disinyalir berkaitan (saling mempengaruhi) dengan fenomena ENSO. Behera dan Yamagata (2002) menemukan adanya korelasi antara indeks IODM dengan tekanan udara di Darwin, yang secara tidak langsung mempengaruhi kuat lemahnya ENSO. Studi literatur ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh fenomena IODM terhadap ENSO serta kaitannya dengan variasi curah hujan di Indonesia.
Pola umum curah hujan di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh letak geografis. Secara rinci pola umum hujan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:
Pantai sebelah barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak daripada pantai sebelah timur.
Curah hujan di Indonesia bagian barat lebih besar daripada Indonesia bagian timur. Sebagai contoh, deretan pulau-pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang dihubungkan oleh selat-selat sempit, jumlah curah hujan yang terbanyak adalah Jawa Barat.
Curah hujan juga bertambah sesuai dengan ketinggian tempat. Curah hujan terbanyak umumnya berada pada ketinggian antara 600 – 900 m di atas permukaan laut.
Di daerah pedalaman, di semua pulau musim hujan jatuh pada musim pancaroba. Demikian juga halnya di daerah-daerah rawa yang besar.
Bulan maksimum hujan sesuai dengan letak DKAT.
Saat mulai turunnya hujan bergeser dari barat ke timur seperti:
1) Pantai barat pulau Sumatera sampai ke Bengkulu mendapat hujan terbanyak pada bulan November.
2) Lampung-Bangka yang letaknya ke timur mendapat hujan terbanyak pada bulan Desember.
3) Jawa bagian utara, Bali, NTB, dan NTT pada bulan Januari – Februari.
Di Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah, musim hujannya berbeda, yaitu bulan Mei-Juni. Pada saat itu, daerah lain sedang mengalami musim kering. Batas daerah hujan Indonesia barat dan timur terletak pada kira-kira 120( Bujur Timur.
Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk setiap tahunnya tidak sama. Namun masih tergolong cukup banyak, yaitu rata-rata 2000 – 3000 mm/tahun. Begitu pula antara tempat yang satu dengan tempat yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama.
Ada beberapa daerah yang mendapat curah hujan sangat rendah dan ada pula daerah yang mendapat curah hujan tinggi:
Daerah yang mendapat curah hujan rata-rata per tahun kurang dari 1000 mm, meliputi 0,6% dari luas wilayah Indonesia, di antaranya Nusa Tenggara, dan 2 daerah di Sulawesi (lembah Palu dan Luwuk).
Daerah yang mendapat curah hujan antara 1000 – 2000 mm per tahun di antaranya sebagian Nusa Tenggara, daerah sempit di Merauke, Kepulauan Aru, dan Tanibar.
Daerah yang mendapat curah hujan antara 2000 – 3000 mm per tahun, meliputi Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, dan Timur sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebagian Irian Jaya, Kepulauan Maluku dan sebagaian besar Sulawesi.
Daerah yang mendapat curah hujan tertinggi lebih dari 3000 mm per tahun meliputi dataran tinggi di Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dataran tinggi Irian bagian tengah, dan beberapa daerah di Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba.
Perlu Anda ketahui pula bahwa hujan terbanyak di Indonesia terdapat di Baturaden Jawa Tengah, yaitu curah hujan mencapai 7,069 mm/tahun. Hujan paling sedikit di Palu Sulawesi Tengah, merupakan daerah yang paling kering dengan curah hujan sekitar 547 mm/tahun.
Dulu sebelum era 90-an, dengan mudah kita akan menyebut bahwa musim hujan di Indonesia berlangsung anatara bulan Oktober hingga April. Sekarang? Jangankan April. sepanjang tahun 2010 hujan terus rajin mengguyur Pulau Jawa.
Inilah sedikit catatan keunikan hujan.
    Hujan merupakan satu bentuk presipitasi (produk dari kondensasi uap air di atmosfer) yang berwujud cairan. Hujan dalam bentuk lain adalah Hujan Es atau salju atau presipitasi yang berwujud padat. Bentuk lain dari hujan adalah kabut, Kabut atau halimun yaitu uap air atau aerosol yang berada dekat permukaan tanah berkondensasi dan menjadi mirip awan. Hal ini biasanya terbentuk karena hawa dingin membuat uap air berkondensasi dan kadar kelembaban mendekati 100%.
    Hujan terbentuk apabila titik air yang terpisah jatuh ke bumi dari awan. Tidak semua air hujan sampai ke permukaan bumi karena sebagian menguap ketika jatuh melalui udara kering. Hujan jenis ini disebut sebagai virga.

    kabut
    Musim hujan hanya dikenal di wilayah dengan iklim tropis. Di daerah tropis musim hujan bergantian dengan musim kemarau dan sangat dipengaruhi oleh pergerakan semu matahari tahunan. Pergerakan matahari mengubah peta suhu udara dan permukaan tanah dan samudera. Pada gilirannya perbedaan suhu akan mengubah konsentrasi uap air di udara.
    Secara teknis meteorologi, musim hujan dianggap terjadi apabila curah hujan dalam tiga puluh harian (dasarian)  berturut-turut telah melebihi 100 mm per meter persegi per 10 harian dan berlanjut terus. Apabila hal ini belum terpenuhi namun curah hujan telah tinggi kondisinya dianggap sebagai peralihan musim (pancaroba). Dalam pranata mangsa yang dikenal di Pulau Jawa, pancaroba antara musim penghujan dan musim kemarau (biasa terjadi pada bulan Maret dan April) disebut sebagai mangsa (musim) marèng, sementara pancaroba antara musim kemarau dan musim penghujan (biasa terjadi pada bulan Oktober hingga Desember) disebut mangsa labuh. Sebagai misal, musim hujan dinyatakan dimulai (menurut batasan BMG) apabila untuk suatu tempat curah hujan telah di atas 100mm selama tiga dasarian berturut-turut.
    Biasanya musim hujan terjadi pada bagian bumi yang tengah mengalami posisi zenith peredaran semu matahari.
    Hujan memainkan peranan penting dalam siklus hidrologi. Lembaban dari laut menguap, berubah menjadi awan, terkumpul menjadi awan mendung, lalu turun kembali ke bumi, dan akhirnya kembali ke laut melalui sungai dan anak sungai untuk mengulangi daur ulang itu semula.
    Hujan memiliki kadar asam sekitar pH 6. Air hujan dengan pH di bawah 5,6 dianggap hujan asam. Hujan secara alami bersifat asam (pH sedikit di bawah 6) karena karbondioksida (CO2) di udara yang larut dengan air hujan memiliki bentuk sebagai asam lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan binatang. Hujan asam disebabkan oleh belerang (sulfur) serta nitrogen yang merupakan pengotor dalam bahan bakar fosil di udara yang bereaksi dengan oksigen membentuk sulfur dioksida dan nitrogen oksida. Zat-zat ini berdifusi ke atmosfer dan bereaksi dengan air untuk membentuk asam sulfat dan asam nitrat yang mudah larut sehingga jatuh bersama air hujan. Air hujan yang asam tersebut akan meningkatkan kadar keasaman tanah dan air permukaan yang terbukti berbahaya bagi kehidupan ikan dan tanaman. Secara alami hujan asam dapat terjadi akibat semburan dari gunung berapi  dan dari proses biologis seperti pembusukan di tanah, rawa, dan laut. Akan tetapi, mayoritas hujan asam disebabkan oleh aktivitas manusia seperti industri, pembangkit tenaga listrik, kendaraan bermotor dan pabrik pengolahan pertanian (terutama amonia).
    Rata-rata kecepatan jatuhnya air hujan hanyalah 8-10 km/jam. Air jatuh ke bumi dengan kecepatan yang rendah karena titik hujan memiliki bentuk khusus yang meningkatkan efek gesekan atmosfer dan membantu hujan turun ke bumi dengan kecepat-an yang lebih rendah. Andaikan bentuk titik hujan berbeda, atau andaikan atmosfer tidak memiliki sifat gesekan. Jika hujan terjadi seperti gelembung air yang besar yang turun dari langit, maka bumi akan menghadapi kehancuran setiap turun hujan.
    Ketinggian minimum awan hujan adalah 1.200 meter dan maksimum pada altituda 10.000 meter. Efek yang ditimbulkan oleh satu tetes air hujan yang jatuh dari ketinggian tersebut sama dengan benda seberat 1 kg yang jatuh dari ketinggian 15 cm.
    Dalam satu detik, kira-kira 16 juta ton air menguap dari bumi. Jumlah ini sama dengan jumlah air yang turun ke bumi dalam satu detik. Dalam satu tahun, diperkirakan jumlah ini akan mencapai 505x1012 ton.
    Butiran air hujan berubah bentuk ratusan kali tiap detik. Kalau butiran air hujan itu dibekukan akan membentuk keping kristal yg indah, tidak seperti air biasa yang di bekukan di freezer/kulkas.
    Setelah hujan turun, tanah, ilalang, rerumputan akan mengeluarkan bau wangi yg khas, senyawa ini dinamakan 'petrichor'. (petros Yunani "batu" + nanah cairan yang mengalir di pembuluh darah para dewa dalam mitologi Yunani) adalah nama aroma hujan ke bumi kering. Istilah ini diciptakan pada tahun 1964 oleh dua peneliti Australia, Bear dan Thomas. Bau berasal dari minyak atsiri tanaman tertentu selama periode kering, lalu itu diserap oleh tanah liat dan batu berbasis. Selama hujan, minyak dilepaskan ke udara bersama dengan yang lain senyawa geosmin yang menghasilkan aroma khas. Bear dan Thomas (1965) menunjukkan bahwa minyak menghambat perkecambahan biji dan awal pertumbuhan tanaman.
    Titik Hujan
    Jumlah orang yang sakit flu lebih banyak saat musim hujan karena virus flu atau influenza aktif saat intensitas sinar matahari sedikit dan udara menjadi dingin. Udara yang dingin dan lembab juga menurunka daya tahan tubuh.
    Cendawan dan Jamur (Fungi) tumbuh dan berkembang pesat saat musim hujan karena, fungi atau fungus hidup pada tempat yang lembab.
    Pelangi hanya dapat dilihat saat hujan ringan bersamaan dengan matahari bersinar, tapi dari sisi yang berlawanan dengan si pengamat. Posisi si pengamat harus berada di antara matahari dan tetesan air dengan matahari dibekalang orang tersebut. Matahari, mata si pengamat dan pusat busur pelangi harus berada dalam satu garis lurus.
    Pelangi
    kain atau pakaian yang dicuci dan dijemur saat musim hujan lebih  sulit untuk kering karena sedikit sinar matahari yang memanaskan baju basah. Selain itu udara yang tidak lembab atau kering memiliki sedikit partikel air. Udara yang kering akan lebih cepat menghisap kain basah.
    Pada beberapa kebudayaan hujan sering diasumsikan sebagai susana yan negatif, duka, kelam dan dingin. Namun ada fakta yang misterius dan mengejutkan adalah Hujan sering membawa memori manusia kepada ingatan masa lalu. Bukti ilmiah, para ilmuan hanya bisa menyimpulkan “Di dalam hujan, ada gelombang tertentu yang beresonansi yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu”. Dan pada titik ini, para ilmuan meyakini bahwa manusia biasanya mendapatkan inspirasi.
Pola Hujan Rata-Rata Bulanan Wilayah Indonesia
Kemarin saat sedang mencari-cari literatur untuk tulisan, saya temuin satu paper yang menurut saya sangat bagus. Paper itu di tulis oleh pak Dr. Edvin Aldrian dan diterbitkan pada tahun 200 oleh Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 1, No. 2 dan berjudul POLA HUJAN RATA-RATA BULANAN WILAYAH INDONESIA; TINJAUAN HASIL KONTUR DATA PENAKAR DENGAN RESOLUSI ECHAM T-42. Paper ini menceritakan tentang hujan di Indonesia dan faktor-faktor umum penyebab hujan itu turun di Indonesia dari bulan januari sampai desember. Paper ini menceritakan cukup detail faktor-faktor tersebut misalnya tentang kenapa musim kemarau mulai ada di bulan mei dan musim hujan mulai masuk pada bulan september. trus kenapa curah hujan sangat rendah sekali di NTT pada bulan agustus serta pergerakan musim hujan atau kemarau dari ujung barat indonesia sampai ujung timur indonesia, ujung selatan indonesia sampai ujung utara indonesia. Sangat menarik dan bisa di jadikan sebagai acuan bagi yang mempelajari hujan baik itu untuk tugas, skripsi, tesis, bahkan desertasi. Karena informasi ini sangat jarang di peroleh. Paper aslinya saya akan tautkan di bagian bawah tulisan ini sedangkan gambar sebaran spasial hasil modelnya yang berupa sebaran spasial rata-rata curah hujan di Indonesia saya ganti dengan yang berwarna (gambar di samping, klik untuk memperbesar) yang saya peroleh dari desertasinya pak Aldrian, karena klo dari papernya tersebut gambarnya hitam putih.
1. Januari
Hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki curah hujan rata rata bulanan diatas 150 mm. Daerah yang memiliki curah hujan maksimum terdiri dari Lampung dan Jawa dengan curah hujan diatas 300 mm. Keberadaan monsun Asia dan Australia tidak terlihat jelas pada bulan ini. Dalam pengertian iklim klasik Indonesia, bulan ini semestinya termasuk dalam periode monsun asia. Kenyataannya, berda-sarkan analisis angin ECMWF 850 mb. Monsun Asia ada pada bulan NDJFM. Daerah yang paling berdekatan dengan asal monsun Asia (Riau kepulauan) justru memiliki curah hujan yang lebih rendah. Kalau dilihat dari analisis angin, daerah ini memang mensuplai massa udara basah tetapi kecepatan angin terlalu tinggi sehingga mengurangi kemungkinan hujan di daerah ini.
Daerah anomali hujan tinggi, selain di Riau kepulauan juga terjadi di utara Sulawesi dan Maluku te-ngah. Anomali lainnya juga terlihat jelas pada kon-tur hujan di Sulawesi selatan atau tepatnya di sebe-lah barat kota Makasar. Tingginya curah hujan kota Makasar pada bulan ini harus dipahami dengan situasi kota ini yang terletak dipinggir pantai sebuah semenanjung Sulawesi selatan yang di tengahnya terdapat ba-risan bukit. Pada baratan pada bulan membawa udara basah yang memberikan efek orografis ba-yangan hujan (Fohn effect). Sebagai hasilnya curah hujan di kota ini jauh lebih tinggi dari nilai kontur yang tergambar. Terkadang terdapat data dengan curah hujan diatas 1500 mm. Faktor kesalahan lain-nya adalah kurangnya titik observasi di grid ini. Pada grid ini terdapat satu stasiun penakar di kota Makasar. Apabila ingin didapat pola iklim berdasar hujan yang lebih mewakili maka grid ini membutuhkan jauh lebih banyak data penakar terutama dari timur semenanjung Sulawesi selatan.
Hasil analisis angin menunjukkan bahwa terjadi konvergensi masa udara di daerah yang memiliki curah hujan maksimum yaitu selatan Indonesia mulai dari Lampung hingga pulau Timor. Di daerah sebelah utara Australia terjadi daerah pusaran angin yang menunjukkan daerah yang sering terjadi siklon tropis. Apabila kita melihat bahwa monsun asia sudah melemah, maka dapat disimpulkan sementara bahwa curah hujan tinggi di selatan Indonesia terjadi bukan karena monsun Asia tetapi karena daerah pertemuan masa udara dari belahan bumi utara dan selatan (daerah ITCZ) dan keberadaan siklon tropis di sebelah utara Australia. Secara khusus dapat dibagi lagi bahwa di daerah Lampung hingga Jawa pengaruh ITCZ lebih besar ketimbang siklon tropis, tetapi daerah Nusa Tenggara mendapat pengaruh siklon tropis yang besar pula. Hal ini jelas terlihat pada grid di daerah selatan laut Banda, yang paling berdekatan dengan lokasi siklon di utara Australia, memiliki curah hujan mencapai > 350 mm.
Dari pola OLR, daerah yang berpeluang terjadinya hujan adalah daerah pesisir barat Sumatera dan Jawa. Selain itu Maluku utara hingga Sulawesi utara serta tengah pulau Irian. Daerah di tengah Irian dengan nilai OLR tinggi dapat dimaklumi secara orografis yaitu daerah puncak Jayawijaya. Pola OLR tinggi di Maluku tengah dan Sulawesi Utara bertentangan dengan data hujan yang menunjukkan daerah ini memiliki curah hujan minimum. Secara umum daerah OLR juga mewakili letak posisi ITCZ yang tepat di daerah khatulistiwa. Dari pola OLR ini juga terlihat bahwa daerah yang dekat dengan asal monsun Asia tidak memiliki po¬tensi awan konvektif sebagaimana analisis kita se¬belumnya.
Analisis suhu permukaan dari ECMWF menunjukkan bahwa kemungkinan aliran angin sesuai dengan pola angin ketinggian 850 mb. Arah angin berasal dari laut Cina selatan menuju daerah benua australia. Kalau dilihat sepintas, keberadaan ITCZ sulit diramalkan dari pola suhu permukaan yang ada ini. Daerah disebelah utara Australia memiliki suhu permukaan yang tinggi hingga ada yang mencapai 3030K yang menunjukkan besarnya potensi terjadinya siklon di daerah ini.
2. Februari
Pola hujan secara umum pada bulan ini tidak jauh berbeda dengan Januari dengan penurunan intensi-tas hujan terjadi di semua wilayah. Penurunan juga terjadi di Maluku dan utara Sulawesi, sementara efek orografis di kota Makasar masih terlihat.
Dari analisis angin 850 mb ECMWF dapat terlihat bahwa pola angin masih sangat serupa dengan pola angin bulan Januari. Hasil ini dapat dimengerti apabila kita memperhatikan pola suhu permukaan keluaran ECMWF yang mana untuk seluruh wilayah Indonesia, polanya sangat serupa dengan pola bulan Januari kecuali di daerah Maluku selatan. Peru-bahan ini juga terlihat dari pola pusaran angin di utara benua Australia yang berpindah lebih ke arah Indonesia. Sementara pola pusaran disebelah barat pulau Sumatera tetap bertahan pada bulan ini. Dengan melihat hasil keluaran angin 850 mb, dapat juga dimengerti penurunan intensitas curah hujan di sebelah selatan Indonesia karena terjadinya kena-ikan kecepatan angin di daerah ini, sehingga awan konvektif sulit terbentuk. Jadi meskipun ITCZ masih ada dan berpengaruh, aktivitas konvektif lebih berkurang dibandingkan bulan Januari.
Dari pola OLR, terlihat penyebaran daerah konvek-tif terutama di daerah barat Sumatera berkurang jauh. Yang masih bertahan serupa dengan pola sebelumnya adalah daerah Irian Jaya. Pengurang-an daerah konvektif di selatan Indonesia ini dapat dimengerti dari analisis angin 850 mb yang mulai memperlihatkan adanya kenaikan kecepatan angin.
3. Maret
Pola curah hujan rata rata bulan Maret masih menunjukkan pola serupa seperti bulan Februari dan Januari. Dengan intensitas dan pola penyebar-an yang serupa dengan pola bulan Februari, penjelasan penyebaran pola tidak jauh beda dengan bulan Februari. Penurunan pengaruh Fohn effect di Makasar lebih diakibatkan terlalu lemahnya angin di daerah tersebut (< 2 m/s). Pada bulan ini, meskipun pola angin masih seragam dengan pola NDJFM yang menunjukkan pola monsun Asia, tetapi justru pengaruh monsun paling kecil pada bulan ini.
Dari analisis angin ECMWF, terlihat bahwa daerah pusaran angin di daerah sebelah utara Australia lebih mendekat ke arah Indonesia. Secara umum kecepatan angin sangat lemah (< 2 m/s) sehingga pola hujan yang mungkin terjadi bukanlah pola musiman tetapi lebih disebabkan oleh faktor gangguan lokal. Pola angin yang sangat mirip dengan bulan Februari tetapi dengan kecepatan yang jauh lebih rendah ini dapat dimengerti dari analisis pola suhu permukaan yang masih seragam dengan pola di bulan Februari. Di sebelah selatan Indonesia pe-nyebaran daerah bersuhu tinggi menyebabkan daerah ini mengalami penurunan kecepatan angin karena penyebaran daerah ini meluas hingga sebelah barat Sumatera utara.
Pola OLR menunjukkan bahwa daerah konvektif masih terdapat di sebelah barat Sumatera yang mana terjadinya lebih disebabkan oleh karena terdapatnya daerah perputaran arah angin disini. Daerah potensial konvektif juga terjadi di daerah Maluku tengah. Interpretasi yang logis dari hasil di daerah Maluku ini masih belum jelas.
4. April
Bulan ini ditandai dengan menurunnya curah hujan rata rata di Indonesia bagian selatan. Terlebih di daerah Nusa Tenggara dimana mulai terlihat kedatangan musim kemarau atau monsun Australia yang kering. Sebagian besar daerah Jawa berpeluang hujan antara 150 – 200 mm/bulan. Hampir seluruh Indonesia memiliki peluang yang serupa seperti ini. Sementara sebagian daerah Sumatera, seluruh Kalimantan dan Irian Jaya, masih memiliki hujan relatif tinggi. Daerah hujan rendah di daerah kedatangan monsun Asia semakin mengecil. Dari analisis angin 850 mb, dapat disimpulkan bahwa bulan April merupakan bulan transisi dari musim basah menuju musim kering. Pola angin yang jauh dari seragam hampir terjadi disemua daerah terutama Indonesia bagian barat. Ke¬beradaan ITCZ yang terletak tepat di khatulistiwa jelas terlihat di pola angin diatas Maluku dan Irian Jaya. Pada bulan ini angin tidak lagi berasal dari daerah monsun Asia, malahan angin kuat mulai mengalir dari benua Australia. Keberadaan daerah siklon tropis di utara benua Australia juga menghi¬lang. Arah angin yang mulai mengarah dari Austra¬lia ini dapat dilihat dari pengaruhnya pada pola hu¬jan di daerah nusa tenggara yang intensitasnya sangat menurun (< 100 mm). Arah angin pada periode transisi ini yang tidak homogen dapat dimengerti dari pola suhu permukaan yang meng¬gambarkan pola suhu tinggi hampir diseluruh wi¬layah Indonesia, dengan ini dapat dimengerti bahwa pada bulan ini pola hujan terjadinya lebih dikarenakan faktor gangguan lokal. Karena suplai udara basah sudah jauh berkurang. Pola suhu per¬mukaan, dalam bulan JFM menunjukkan daerah bersuhu tinggi di selatan Indonesia atau utara Aus¬tralia yang menjadi faktor pendorong aliran udara dari Asia ke daerah tersebut. Dengan meratanya penyebaran suhu tinggi permukaan maka tidak mungkin tampil daerah yang arah anginnya homo¬gen seperti perioda tersebut.
Dari pola OLR terlihat bahwa penyebaran daerah konvektif masih terjadi disebelah barat Sumatera, Maluku tengah dan Irian Jaya. Hal ini tidak jauh beda dengan kondisi tiga bulan sebelumnya. Kedatangan monsun Australia yang sudah mulai jelas, juga terlihat daerah bernilai OLR rendah di Nusa Tenggara. Walau kedatangan monsun Australia sudah mulai terdeteksi secara umum Indonesia pada bulan ini ada dalam perioda transisi.
5. Mei
Pola hujan bulan ini menunjukkan daerah intensitas cukup merata (150 – 200 mm) hampir diseluruh Indonesia. Kecuali di sebelah barat Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Daerah kering meluas hingga Jawa Tengah dan Sulawesi selatan. Dapat dikatakan bahwa pada bulan ini Indonesia bagian selatan sudah memasuki musim kemarau.
Dari pola angin 850 mb, kondisi transisi masih bertahan terutama di Kalimantan. Dominasi angin dari Australia semakin menyeruak masuk dan ITCZ mulai tidak jelas keberadaannya. Selain dominasi angin dari Australia yang kering ternyata selatan Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi angin kencang yang menghambat terjadinya hujan. Kondisi transisi tidak jelas terutama terlihat dari suhu permukaan, maksimumnya bergeser ke belahan utara pada bulan ini. Sebagian besar daerah Indonesia mengalami angin kecepatan “sedang” hingga “rendah” yang memung-kinkan timbulnya hujan akibat gangguan lokal. Dari pola OLR terlihat bahwa daerah konvektif juga berkurang dan daerah kering semakin meluas di Indonesia bagian selatan. Daerah konvektif di barat Sumatera dan Maluku meluas ke utara.
6. Juni
Pola hujan pada bulan ini ditandai dengan makin meluasnya musim kemarau hingga Sumatera utara. Se-luruh Jawa telah masuk musim kemarau dengan beberapa daerah memiliki curah hujan dibawah 100 mm. Daerah hujan tinggi masih terdapat di sebelah barat Sumatera dan Kalimantan utara. Sedangkan di Maluku tengah terdapat daerah dengan curah hujan tinggi. Daerah lainnya, curah hujan merata dengan intensitas 150 – 200 mm. Daerah musim kemarau memiliki intensitas hujan hingga 0 mm.
Pola angin pada bulan ini lebih kurang homogen. Angin berkecepatan tinggi datang dari benua Australia menuju Asia dan sangat berpengaruh pada kondisi musim kemarau terutama pada daerah Nusa Tenggara dan Maluku selatan. Dilihat dari pola suhu permukaan, pemisahan daerah 3010K mulai tampak antara belahan bumi selatan dan utara. Hal inilah yang membantu memperkuat angin dominan di Indonesia yang berasal dari Australia. Suhu permukaan ditengah benua Australia telah turun jauh hingga mengakibatkan angin berkecepatan tinggi.
Pola OLR bulan ini menunjukkan daerah konvektif hanya terdapat di barat Sumatera dan umumnya di sebelah utara Indonesia. Pola musim kemarau di selatan Indonesia tidak berubah hingga daerah Kalimantan selatan sebagaimana pola hujan bulan ini.
7. Juli
Pola hujan bulan Juli mennjukkan peningkatan daerah musim kemarau dalam hal daerah yang intensitas curah hujan < 100 mm. Secara umum pola yang digambarkan serupa dengan bulan Juni. Daerah musim kemarau meluas hingga Sulawesi utara. Pola angin pada bulan ini juga tidak menunjukkan perbedaan nyata dengan bulan sebelumnya. Hal ini dapat dimengerti karena dari pola suhu permukaan juga tidak terlihat pola yang berubah jelas jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Semen-tara dari pola OLR kita melihat bahwa daerah musim kemarau semakin mendesak keatas dan meluas. Seluruh Jawa telah menjadi daerah non-konvektif.
8. Agustus
Pada bulan Agustus ini seluruh pulau Sulawesi memasuki musim kemarau. Hanya daerah sebelah barat Sumatera curah hujan tinggi masih bertahan. Dapat dikatakan bahwa puncak musim kemarau terjadi pada bulan ini. Kemarau terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia kecuali Su¬matera bagian barat, sebagian Kalimantan, Maluku tengah dan Irian Jaya. Pergerakan monsun Australia atau musim kemarau berjalan teratur dan mencapai maksimum pada bulan ini. Di daerah nusa teng-gara, intensitas hujan mencapai 0 mm. Dari pola angin, tidak tampak perubahan diban¬dingkan dengan bulan sebelumnya. Dapat dikata¬kan selama lima bulan MJJAS, pola angin berlang¬sung secara homogen. Bertahannya curah hujan tinggi di sebelah barat Sumatera, sebagian Kali¬mantan dan Irian Jaya adalah karena perputaran angin di daerah ini. Dari pola suhu permukaan sebenarnya belahan bumi utara pada bulan ini tidak terlalu hangat (>3020K), tetapi suhu di belahan bumi selatan terlalu rendah (<2980K) sehingga angin yang mengalir di Indonesia tetap kencang.
Serupa dengan pola hujan rata rata bulanan, dari pola OLR dapat dilihat bahwa pada bulan ini daerah musim kemarau mencapai daerah terluas atau bulan ini adalah puncak dari musim kemarau. Daerah konvektif hanya terlihat di sebelah barat Sumatera dan daerah daerah di utara Indonesia.
9. September
Bulan september merupakan awal dari peluruhan monsun Australia yang digambarkan dengan pe-ngurangan daerah musim kemarau. Daerah musim kemarau disebelah utara Sumatera menghilang. Musim kemarau masih ada di Sumsel, Jawa hingga Timor, Sulawesi dan Maluku. Daerah Maluku utara dan Irian tetap bertahan dengan curah hujan sedang. Daerah hujan minimum di sebelah selatan Indonesia juga mulai menampakkan peningkatan intensitasnya. Daerah minim hujan di Sumatera juga sudah mulai menampakkan peningkatan intensitas.
Pola angin bulan ini menunjukkan pola yang serupa dengan pola angin MJJAS. Berta¬hannya secara homogen pola angin ini selama lima bulan me-nunjukkan kuatnya pengaruh monsun Australia di Indonesia. Dari pola suhu permukaan, terlihat bah-wa di selatan Indonesia suhu permukaan mulai meningkat. Terutama hilangnya kontur suhu < 2980K di utara Australia yang dapat diartikan mulai berkurangnya suplai udara kering dari benua ini.
Pola OLR menunjukkan adanya peningkatan daerah konvektif di sebelah barat Sumatera. Daerah ini menunjukkan nilai OLR yang tinggi yang menandakan tingginya aktivitas konveksi disini. Dari pola bulan ini juga mulai terlihat pindahnya aktivitas konvektif ke wilayah Indonesia dari utara. Secara umum, Indonesia masih mengalami pola monsun Australia. Hal ini jelas terlihat dari pola angin yang masih serupa dengan pola MJJAS.
10. Oktober
Dari pola hujan bulanan, terjadi pergerakan daerah musim kemarau yang beralih ke Indonesia timur. Batas musim kemarau mulai dari Jawa timur hingga menutupi seluruh Indonesia timur kecuali Irian Jaya. Hal yang menarik lainnya adalah datangnya pengaruh monsun Asia yang nampak dengan timbulnya daerah hujan di utara Kalimantan yang dekat dengan Asia. Daerah lainnya yang memiliki curah hujan tinggi adalah sebelah barat Sumatera dengan penyebab klasiknya yaitu pusaran angin di barat Sumatera. Pola angin 850 mb pada bulan ini tetap menggam¬barkan pola monsun Australia. Kalau dibandingkan dengan pola hujan hasil pengamatan, tidak dapat dikatakan bahwa hanya monsun Australia yang berpengaruh pada bulan ini. Dari data angin mulai terlihat pindahnya daerah ITCZ di utara Indonesia. Dari pola suhu permukaan, terlihat peningkatan suhu permukaan di Australia utara. Secara umum, seperti bulan April, suhu permukaan hampir di selu¬ruh wilayah Indonesia seragam. Sehingga memper¬kuat hipothesis bahwa bulan ini dikategorikan seba¬gai masa transisi. Sesuai dengan gambar pola hujan bulan Oktober, dari pola OLR terlihat juga bahwa musim kemarau masih terbentang di Indonesia bagian selatan meskipun wilayahnya jauh lebih kecil daripada se¬belumnya.
11. Nopember
Pola hujan bulan ini menunjukkan pudarnya peng-aruh monsun Australia dan masuknya monsun Asia dengan udara basah sehingga di wilayah utara tampak peningkatan curah hujan bulanan. Daerah seperti Kalimantan menerima curah hujan hingga lebih dari 350 mm. Daerah musim kemarau seperti Sulawesi dan Jawa juga mulai menerima pening¬katan curah hujan. Daerah penurunan intensitas hujan malah terjadi di Irian Jaya bagian selatan. Meskipun masih terdapat musim kemarau, daerah nusa tenggara menerima curah hujan sedang antara 50 – 150 mm. Sehingga dapat dikatakan, pada bulan ini musim kemarau telah lenyap dan digantikan oleh kehadiran monsun Asia yang basah.
Kondisi pola angin bulan Nopember sangat menarik untuk disimak, terlihat daerah ITCZ mulai berpindah ke khatulistiwa. Munculnya kembali daerah ITCZ ini lebih diakibatkan tekanan monsun Asia karena perpindahan posisi lintang matahari. Selain ITCZ, hampir diseluruh wilayah Indonesia terjadi penurunan kecepatan angin yang mendorong timbulnya aktivitas gangguan lokal untuk mempe¬ngaruhi intensitas hujan. Dari pola OLR terlihat pengurangan luas daerah konveksi di sebelah selatan Indonesia. Selain itu daerah konvektif di Sumatera dan Riau kepulauan juga mengalami peningkatan nilai OLR. Hal ini dapat dimengerti dari pola hujan bulan ini.
12. Desember
Dalam bulan terakhir ini dapat dilihat bahwa pola monsun Asia dominan di bagian barat Indonesia hingga Sulawesi selatan. Data penakar di Makasar menunjukkan timbulnya pengaruh Fohn effect. Sedangkan situasi monsun Australia sudah menghilang sama sekali. Peningkatan intensitas hujan terjadi hampir di seluruh wilayah. Mengikuti pola sebelumnya daerah yang intensitas hujan minimal terjadi di Maluku dan Irian. Dari pola angin terlihat perpindahan lokasi ITCZ lebih ke selatan dan semakin dominannya aliran angin dari Asia. Kecuali Nusa Tenggara, maka seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh monsun Asia. Perlu dicatat juga mulai timbulnya pengaruh siklon tropis di utara Australia. Mulai dominannya angin dari Asia juga dapat dijelaskan dengan pola suhu permukaan. Dari pola suhu permukaan terlihat bahwa di belahan bumi selatan suhu permukaan lebih tinggi dari belahan bumi utara. Malah di benua Australia, suhu permukaan lebih tinggi dari 303oK. Dari pola OLR juga terlihat tidak adanya daerah non konvektif. Wilayah dengan nilai OLR rendah sudah menyingkir jauh dari wilayah Nusa Tenggara. Angin di selatan Indonesia juga berkecepatan rendah, yang memudahkan timbulnya pengaruh gangguan lokal. Wilayah dengan nilai OLR tinggi meluas, seperti di Irian Jaya dapat dimengerti dengan melihat pola hujan bulanan pada bulan ini dimana intensitas curah hujan turut meningkat.
Hutan Hujan Tropis Indonesia Sebagai Potensi Dunia
Korelasi Positif Pasca KTT Perubahan Iklim 2009
Hutan di wilayah Indonesia ada yang dikategorikan sebagai hutan hujan tropika. Artinya adalah potensi hutan Indonesia termasuk yang menjadi potensi dunia. Seperti yang ada di Pulau Sumatera ada dataran rendah yang terdiri dari hutan pantai, mangrove.
Jakarta – Begitu pula Papua dan Kalimantan yang didiami oleh berjuta-juta spesies ekologi langka mulai dari keanekaragaman flora dan fauna.
Hutan menjadi penghasil karbon dan tidak saja bernilai ekonomis tapi secara geografif dan manajemen siklus air menjadi salah satu mata rantai yang mampu menahan air sehingga kerap dituding sebagai tangki alam untuk bumi. Pepohonan yang lebat dan rindang menjadi tempat hidup beratus satwa liar mulai dari spesies kera, monyet, burung, hewan melata dan berbagai tanaman menjalar. Dunia mengakui kualitas kayu dari pohon-pohon Indonesia sehingga rentang dari pembalakan liar tapi dengan adanya program konservasi dan proyek nasional cagar alam. Tidak boleh lagi ada mismanagement dalam penanganannya.
Menurut Wikipedia, hutan hujan ialah hutan tropis yang banyak menerima hujan. Biasanya memiliki banyak tanaman dan hewan. Para ilmuwan mengatakan lebih dari separuh spesies tanaman dan binatang tinggal di hutan hujan. Juga lebih dari 1/4 obat-obatan berasal dari sini. Hutan hujan hanya meliputi wilayah sekitar 2% dari wilayah tanah bumi, namun hutan hujan masih menyediakan 40% oksigen. Hutan hujan mendapatkan hujan rata-rata 50 sampai 250 inch setahun. Pada tahun-tahun hangat jarang mencapai suhu di atas 93 F atau di bawah 68 F. Memiliki kelembaban rata-rata 77% sampai 88%
Hutan hujan memiliki hamparan dedaunan hijau yang busuk di tanah carpet. Ini disebut lapisan humus. Hutan hujan tropis merupakan salah satu jenis hutan yang ada di dunia, hutan hujan tropis sering disebut sebagai hutan tropis basah. Atas dasar pembagian daerah secara iklim menurut Koppen, zona hutan hujan tropis ini termasuk yang memiliki iklim Af, yang memiliki ciri-ciri utama antara lain: memiliki banyak curah hujan antara 2.000 sampai dengan 5.000 mm/tahun, dengan pola curah hujan tersebut dapat dipastikan Indonesia khususnya daerah Pulau Kalimantan merupakan daerah yang memiliki hutan hujan tropis ini. Demikian pula Papua dan Pulau Sumatera.
Menurut asal-usul pembentukan hutan hujan tropis, diperoleh bahwa hutan hujan tropis merupakan komunitas hasil interaksi antara iklim regional dan biota regional. Vegetasi hutan hujan tropis tidak akan pernah mengalami gugur daun seperti hutan yang ada di daerah-daerah subtropis, seperti sebagian besar Eropa, Asia Timur, dan daerah Asia Barat. Sehingga dedaunan yang hidup didaerah hutan hujan tropis akan selalu berwarna hijau sepanjang tahun (evergreen). Vegetasi yang ada didaerah hutan hujan tropis ini mayoritas ditumbuhi oleh tumbuhan berkayu dan berukuran pohon, memiliki batang bebas cabang antara 30 sampai dengan 50 meter dari permukaan tanah, banyak ditemukan berbagai tumbuhan epifit serta Liana (tumbuhan memanjat) berkayu. Contohnya: Anggrek (Orchidaceae) dan rotan (Calamae), merupakan keluarga palem yang hidup memanjat pada tumbuhan lain biasanya pada tumbuhan berkayu.
Jika dibandingkan dengan jenis hutan lain didunia, hutan hujan tropis memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang relatif tertinggi didunia. Keanekaragaman pohon dengan diameter lebih dari 10 cm dapat mencapai lebih dari 100 jenis/ha. Salah satu flora yang hidup di Kalimantan Tengah adalah kelakai (Stenochiaena palustris). Dengan ciri sistem kehidupan di dalamnya dibandingkan dengan sistem kehidupan lainnya secara alami hutan hujan tropis merupakan ekosistem hutan yang paling stabil didunia. Keanekaragaman jenis yang hidup dihutan hujan tropis ini sangat tinggi. Fauna hutan hujan tropis menempati semua lapisan tajuk. Kebanyakan hewan yang hidup merupakan hewan nokturnal (hewan yang aktif pada malam hari) dan arboreal (hewan yang hidup dipohon).
Hutan hujan tropis memiliki fungsi yang vital bagi keberlangsungan hidup semua makhluk yang ada di bumi, dalam hal iklim dunia. Hutan hujan tropis sangat membantu sekali dalam hal menstabilkan iklim dunia dengan cara menyerap karbon dioksida yang ada diatmosfer, sehingga mengurangi pula dalam hal efek rumah kaca. Hutan hujan tropis juga merupakan rumah atau habitat bagi keberlangsungan hidup bagi makhluk hidup yang tinggal didalamnya, termasuk flora dan fauna yang terancam punah keberlangsungan hidupnya. Pada saat banyak pihak yang tidak bertanggung jawab melakukan penebangan hutan secara liar (ilegal logging), hal ini dapat mengakibatkan kepunahan berbagai spesies yang hidup.
Selain fungsi fungsi tersebut ada pula fungsi yang sangat vital, yaitu sebagai suatu sistem peredaran hidrologi bagi bumi. hal ini menggambarkan pergerakkan yang berkelanjutan dari air dibawah, dipermukaan, dan diatas bumi. Jadi tidak heran jika hutan hujan tropis yang masih “perawan” memiliki sungai-sungai yang lebar serta panjang. Pantas saja Indonesia memiliki kepentingan pasca KTT Kopenhagen-Denmark yang baru saja berlalu dengan 5 Usulan Plus 1 yaitu Forest Management dimana dunia harus memberikan kompensasi atau bantuan dari konservasi yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta yang tentu saja akan berdampak jangka panjang untuk BUMI serta manusia yang mendiaminya.
Perubahan Curah Hujan Di Indonesia
Endapan (presipitasi) didefinisikan sebagai bentuk air cair dan padat (es) yang jatuh ke permukaan bumi. Hujan adalah bentuk endapan yang sering dijumpai, dan di Indonesia yang dimaksud dengan endapan adalah curah hujan. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu maupun tempat, sehingga kajian tentang iklim lebih banyak diarahkan pada hujan. Hujan adalah salah satu bentuk dari presipitasi, menurut Lakitan (2002) presipitasi adalah proses jatuhnya butiran air atau kristal es ke permukaan bumi.
Tjasyono (2004) mendefinisikan presipitasi sebagai bentuk air cair dan padat (es) yang jatuh ke permukaan bumi dimana kabut, embun dan embun beku bukan merupakan bagian dari presipitasi (frost) walaupun berperan dalam alih kebasahan (moisture). Jumlah curah hujan dicatat dalam inci atau milimeter (1 inci = 25,4 mm). Jumlah curah hujan 1 mm, menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi permukaan bumi 1 mm, jika air tersebut tidak meresap ke dalam tanah atau menguap ke atmosfer (Tjasyono, 2004). Menurut Arsyad (1989) Tinggi curah hujan diasumsikan sama disekitar tempat penakaran, luasan yang tercakup oleh sebuah penakar curah hujan tergantung pada homogenitas daerahnya maupun kondisi cuaca lainnya.
Curah hujan mempunyai variabilitas yang besar dalam ruang dan waktu. Berdasarkan skala ruang, variabilitasnya Sangat dipengaruhi oleh letak geografi (letak terhadap lautan dan benua), topografi, ketinggian tempat, arah angin umum, dan letak lintang.
Keragaman curah hujan terjadi juga secara lokal di statu tempat, yang disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi topografi seperti adanya bukit, gunung atau pegunungan yang menyebabkan penyebaran hujan yang tidak merata. Berdasarkan skala waktu, keragaman/variasi curah hujan dibagi menjadi tipe harian, musiman (bulanan), dan tahunan. Variasi curah hujan harian dipengaruhi oleh faktor lokal (topografi, tipe vegetasi, drainase, kelembaban, warna tanah, albedo, dan lain-lain). Variasi bulanan atau musiman dipengaruhi oleh angin darat dan angin laut, aktivitas konveksi, arah aliran udara di atas permukaan bumi, variasi sebaran daratan dan lautan. Sedangkan variasi tahunan dipengaruhi oleh perilaku sirkulasi atmosfer global, kejadian badai, dan lain-lain (Ruminta(1989), dalam Erwin, M(2001)).
    Hujan siklonal, yaitu hujan yang terjadi karena udara panas yang naik disertai dengan angin berputar.
    Hujan zenithal, yaitu hujan yang sering terjadi di daerah sekitar ekuator, akibat pertemuan Angin Pasat Timur Laut dengan Angin Pasat Tenggara. Kemudian angin tersebut naik dan membentuk gumpalan-gumpalan awan di sekitar ekuator yang berakibat awan menjadi jenuh dan turunlah hujan.
    Hujan orografis, yaitu hujan yang terjadi karena angin yang mengandung uap air yang bergerak horisontal. Angin tersebut naik menuju pegunungan, suhu udara menjadi dingin sehingga terjadi kondensasi. Terjadilah hujan di sekitar pegunungan.
    Hujan frontal, yaitu hujan yang terjadi apabila massa udara yang dingin bertemu dengan massa udara yang panas. Tempat pertemuan antara kedua massa itu disebut bidang front. Karena lebih berat massa udara dingin lebih berada di bawah. Di sekitar bidang front inilah sering terjadi hujan lebat yang disebut hujan frontal.
    Hujan muson, yaitu hujan yang terjadi karena Angin Musim (Angin Muson). Penyebab terjadinya Angin Muson adalah karena adanya pergerakan semu tahunan Matahari antara Garis Balik Utara dan Garis Balik Selatan. Di Indonesia, secara teoritis hujan muson terjadi bulan Oktober sampai April. Sementara di kawasan Asia Timur terjadi bulan Mei sampai Agustus.
Secara umum curah hujan di wilayah Indonesia didominasi oleh adanya pengaruh beberapa fenomena, antara lain sistem monsoon Asia-Australia, El-Nino, sirkulasi Timur-Barat (Walker Circulation) dan Utara-Selatan (Hadley Circulation) serta beberapa sirkulasi karena pnegaruh local (Mcbride, 2002). Variabilitas curah hujan di Indonesia sangatlah kompleks dan merupakan suatu bagian “chaotic” dari variabilitas monsoon (Ferranti (1997), dalam Aldrian (2003). Monsun dan pergerakan ITCZ (Intertropical Convergence Zone) berkaitan dengan variasi curah hujan tahunan dan semi-tahunan di Indonesia (Aldrian, 2003), sedangkan fenomena El-Nino dan Dipole Mode berkaitan dengan variasi curah hujan antar-tahunan di Indonesia.
Pola umum curah hujan di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh letak geografis. Secara rinci pola umum hujan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut  :

    Pantai sebelah barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak daripada pantai sebelah timur.
    Curah hujan di Indonesia bagian barat lebih besar daripada Indonesia bagian timur. Sebagai contoh, deretan pulau-pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang dihubungkan oleh selat-selat sempit, jumlah curah hujan yang terbanyak adalah Jawa Barat.
    Curah hujan juga bertambah sesuai dengan ketinggian tempat. Curah hujan terbanyak umumnya berada pada ketinggian antara 600 – 900 m di atas permukaan laut.
    Di daerah pedalaman, di semua pulau musim hujan jatuh pada musim pancaroba. Demikian juga halnya di daerah-daerah rawa yang besar.
    Bulan maksimum hujan sesuai dengan letak DKAT.
    Saat mulai turunnya hujan bergeser dari barat ke timur seperti:
a)      Pantai barat pulau Sumatera sampai ke Bengkulu mendapat hujan terbanyak pada bulan November.
b)      Lampung-Bangka yang letaknya ke timur mendapat hujan terbanyak pada bulan Desember.
c)      Jawa bagian utara, Bali, NTB, dan NTT pada bulan Januari – Februari.
    Di Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah, musim hujannya berbeda, yaitu bulan Mei-Juni. Pada saat itu, daerah lain sedang mengalami musim kering. Batas daerah hujan Indonesia barat dan timur terletak pada kira-kira 120( Bujur Timur. Grafik perbandingan empat pola curah hujan di Indonesia dapat Anda lihat pada gambar dibawah ini.
Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk setiap tahunnya tidak sama. Namun masih tergolong cukup banyak, yaitu rata-rata 2000 – 3000 mm/tahun. Begitu pula antara tempat yang satu dengan tempat yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama.
Tjasyono (1999) menyatakan Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi 3 pola iklim utama dengan melihat pola curah hujan selama setahun. Hal ini didukung oleh Aldrian dan Susanto (2003) yang telah mengklasifikasi Iklim Indonesia sebagai berikut: Pola curah hujan di wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pola Monsoon, pola ekuatorial dan pola lokal.  Pola Moonson dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan yaitu sekitar Desember).  Selama enam bulan curah hujan relatif tinggi (biasanya disebut musim hujan) dan enam bulan berikutnya rendah (bisanya disebut musim kemarau). 
Secara umum musim kemarau berlangsung dari April sampai September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret.  Pola equatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal, yaitu dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober saat matahari berada dekat equator.  Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal (satu puncak hujan) tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe moonson. Wilayah Indonesia disepanjang garis khatulistiwa sebagian besar mempunyai pola hujan equatorial, sedangkan pola hujan moonson terdapat di pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, dan sebagian Sumatera. Sedangkan salah satu wilayah mempunyai pola hujan lokal adalah Ambon (Maluku).
Monsun
Monsun merupakan angin yang bertiup sepanjang tahun dan berganti arah dua kali dalam setahun. Umumnya pada setengah tahun pertama bertiup angin darat yang kering dan setengah tahun berikutnya bertiup angin laut yang basah. Pada bulan Oktober – April, matahari berada pada belahan langit Selatan, sehingga benua Australia lebih banyak memperoleh pemanasan matahari dari benua Asia. Akibatnya di Australia terdapat pusat tekanan udara rendah (depresi) sedangkan di Asia terdapat pusat-pusat tekanan udara tinggi (kompresi). Keadaan ini menyebabkan arus angin dari benua Asia ke benua Australia. Di Indonesia angin ini merupakan angin musim Timur Laut di belahan bumi Utara dan angin musim Barat di belahan bumi Selatan. Oleh karena angin ini melewati Samudra Pasifik dan Samudra Hindia maka banyak membawa uap air, sehingga pada umumnya di Indonesia terjadi musim penghujan. Musim penghujan meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia, hanya saja persebarannya tidak merata. Makin ke Timur curah hujan makin berkurang karena kandungan uap airnya makin sedikit.  
Ada dua ciri utama daripada iklim Monsun, yakni adanya perbedaan yang tegas antara musim basah (wet season) dan musim kering (dry season) yang umumnya terjadi pada periode Desember, Januari, dan februari (DJF) dan Juni, Juli dan Agustus (JJA). Pada tahun 1686, Edmund Halley mengemukakan teori bahwa Monsun terjadi akibat adanya perbedaan panas antara daratan dengan lautan sebagai hasil dari zenithal march matahari (Chang, 1984). Kata Monsun biasanya digunakan hanya untuk system angin (Neuwolt,1977). Ramage(1971) memberikan kriteria untuk areal Monsun berdasarkan sirkulasi permukaan bulan Januari dan Juli sebagai berikut:
    Angin yang dominan pada periode bulan Januari dan Juli memiliki perbedaan arah sedikitnya 1200
    Frekwensi rata-rata angin dominan pada bulan Januari dan Juli melebihi 40%
    Rata-rata kecepatan resultan angin pada salah satu bulan tersebut (Januari dan Juli) melebihi 10 m/s
Chang (1984) menyatakan angin dalam sistem Monsun tersebut harus ditimbulkan akibat efek thermal, dan bukan dari pergerakan akibat angin dalam skala planetan dan pressure belt. Ramage (1971) mengemukakan bahwa ada dua sistem Monsun di Asia, yaitu Monsun Musim Dingin Asia Timur (the East Asian Winter Monsun) dan Monsun Musim Panas Asia Selatan (the South Asian Summer Monsun). Pada musim dingin, massa udara mengalir dari pusat tekanan tinggi ke pusat tekanan rendah  ke  arah selatan dan tenggara melewati Korea, Cina, dan Jepang. Massa udara yang kearah tenggara mengalami konvergensi di Laut Cina selatan dengan massa udara timur laut dari Samudra Pasifik. Kemudian dua massa udara (massa udara yang mengalami konvergensi massa udara yang ke arah Selatan) bergabung menuju Tenggara dan membentuk Monsun Timur Laut dan selanjutnya berubah menjadi baratan di Indonesia (setelah melewati ekuator).
Monsun Winter
Pola angin Monsun pada saat musim dingin (winter) (NASA, 2009)
Pada musim panas, pusat tekanan rendah berada di sebelah timur laut India, tetapi Monsun mulai berkembang di Cina Selatan, kemudian ke Birma dan beberapa bulan kemudian berkembang di India (Barry dan Chorley, dalam Nieuwolt, 1977).
Monsun Summer
Pola angin Monsun pada saat musim panas (summer) (NASA, 2009)
Ada tiga sumber massa udara selama berlangsungnya Monsun pada musim panas. Sumber massa udara yang pertama berasal dari Samudra Hindia di selatan ekuator. Massa udara ini bersifat lembab, hangat dan tidak stabil yang mengalami konvergensi setelah mendekati ekuator. Sumber massa udara yang kedua adalah tekanan tinggi di Australia. Massa udara ini bersifat stabil dan kering dan kondisi ini berlangsung sampai di Tenggara Indonesia dan lebih barat lagi, massa udara ini menjadi bersifat lembab dan tidak stabil. Massa udara ketiga berasal dari Samudra Pasifik yang bersifat lembab, hangat dan relatif stabil. Namun setelah melewati samudra hangat massa udara tersebut menjadi tidak stabil.  
Asia Timur dan Asia sebelah Selatan mempunyai sirkulasi Monsun yang terbesar dan paling berkembang. Sedangkan Monsun Asia Timur dan tenggara adalah Monsun yang berkembang dengan baik dan Monsun di Indonesia merupakan bagian dari Monsun Asia Timur dan Asia Tenggara. Hal ini disebabkan oleh besarnya Benua Asia dan efek dari daratan tinggi Tibet terhadap aliran udara (Prawirowardoyo,1996). Trewartha (1995) mengemukakan massa daratan yang sangat luas di benua Asia memperhebat perbedaan yang timbul dari selisih pemanasan dan pendinginan antara daratan dan lautan. Lebih jauh, Asia yang membentang dari Timur-barat pada kisaran lebar dari garis bujur di hemisfer Utara, sedangkan di hemisfer Selatan terutama adalah samudera di Selatan Equator. Akibatnya bagian terbesar dari perbedaan pemanasan yang menyebabakan sirkulasi Monsun, meliputi juga perbedaan utara-selatan, jadi memperkuat pergeseran normal menurut garis lintang dari sistem-sistem angin utama. Karena adanya deretan pegunungan yang sangat tinggi di Asia yang terentang arah Timur-Barat yaitu arah Timur Laut Kaspia ke China, sirkulasi meridional udara sangat terhambat. Hal ini membuat perbedaan musiman dalam temperatur dan tekanan yang lebih dramatis lagi.
Selama musim dingin massa daratan disebelah utara pegunungan itu menjadi demikian dingin hingga menghasilkan sistem tekanan tinggi yang kuat di atas Asia Timur Laut dan suatu aliran keluar udara dingin yang cukup menonjol dari Asia Timur (Trewartha, 1995). Di lain pihak, pemanasan intensif musim panas atas daratan subtropis yang terletak di sebelah selatannya deretan pegunungan itu, melahirkan suatu kawasan tekanan rendah dan suatu aliran inflow udara hangat yang kuat dan lembab ke Asia Selatan.
Pada musim dingin di belahan bumi utara (BBU), yaitu pda bulan Desember, Januari, dan februari angin Monsun bertiup dari Siberia menuju ke benua Australia. Pada periode ini daerah yang membentang dari ujung Sumatera bagian selatan, jawa, Bali, Lombok, Nusa Tenggara sampai ke Irian angin Monsun bertiup dari barat ke timur.
Pola aliran udara rata-rata pada ketinggian 2000 kaki di bulan Januari merupakan bulan maksimum dari musim dingin di belahan bumi utara (BBU). Oleh sebab itu daerah ini dinamakan Monsun Barat dan musimnya disebut Musim Monsun Barat, sedangkan di daerah yang mencakup sebagian besar Sumatera lainnya dan Kalimantan Barat angin Monsun datang dari arah Timur Laut. Oleh karena itu, angin Monsun dai daerah ini disebut Monsun Timur Laut dan Musimnya disebut Musim Monsun Timur Laut.
Pada musim panas di belahan bumi utara (BBU), terjadi sebaliknya angin Monsun berhembus dari benua Australia menuju ke Asia. Oleh karena itu disebut Monsun Timur dan musimnya dinamakan Musim Monsun Timur, sedangkan di daerah yang melingkupi bagian Sumatera lainnya dari Kalimantan Barat angin Monsun bertiup dari arah barat daya ke timur laut sehingga angin Monsun ini disebut Monsun Barat Daya dan musimnya disebut Musim Monsun Barat Daya. Pola aliran udara rata-rata pada ketinggian 2000 kaki pada bulan maksimum musim padan di belahan bumi utara (BBU) yaitu bulan Juli Prawirowardoyo,1996)

Indian Ocean Dipole Mode (IODM)
IODM adalah sebuah fenomena samudra dan atmosfer di Samudera Hindia ekuator yang ditandai dengan anomali negatif suhu permukaan laut di Sumatera dan anomali suhu positif di bagian barat Samudera Hindia (Saji et al, 1999). IODM diasosiasikan dengan perubahan angin tenggara di Samudra Hindia sehingga akan mempengaruhi daerah konvektif di ekuator, Sirkulasi Walker, dan presipitasi.
Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi fenomena IODM adalah Dipole Mode Index (DMI). DMI merupakan gradien anomali suhu permukaan laut bagian barat dan bagian timur Samudera Hindia. Saji et al (1999) mempelajari posisi titik anomali suhu permukaan laut (dipole) di Samudera Hindia tropis bagian barat (50OE – 70OE, 10OS – 10oN) dengan Samudera Hindia tropis bagian timur (90OE – 110OE, 10OS – ekuator). DMI positif (+) terjadi saat anomali suhu muka laut Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya, akibatnya terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat sedangkan di Benua Maritim Indonesia (BMI) mengalami penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan kekeringan. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat DMI negatif (-), seperti yang dikemukakan Ashok et al (2001) (Gambar 2).
Anomali suhu permukaan laut selama kejadian-kejadian IODM berhubungan erat dengan anomali angin permukaan di tengah bagian ekuator Samudera Hindia (Saji dan Yamagata 2003). Saji et al (1999) menjelaskan bahwa IODM menguat pada bulan Mei dan mencapai puncaknya pada bulan Oktober-November (Gambar 3). Siklus IODM diawali dengan munculnya anomali suhu muka laut negatif di sekitar selat Lombok hingga selatan Jawa pada bulan Mei hingga Juni, bersamaan dengan itu, terjadi anomali angin tenggara yang lemah di sekitar Jawa dan Sumatera. Pada bulan Juli hingga Agustus, anomali suhu muka laut negatif terus menguat dan meluas sampai ke ekuator di sepanjang pantai selatan Jawa hingga pantai barat Sumatera. Pada bulan Juni ini juga mulai muncul anomali suhu muka laut positif di Samudera Hindia bagian barat. Adanya dua titik anomali (dipole) di Samudera Hindia ekuatorial ini, semakin memperkuat anomali angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera. Siklus ini mencapai puncaknya pada bulan Oktober, dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November-Desember.
El Nino Southern Oscillation (ENSO)
Salah satu penyebab perubahan curah hujan di Indonesia, termasuk juga di sebagian besar belahan dunia adalah El Nino Southern Oscillation (ENSO) atau sering disebut El Nino. Fenomena El Nino ditandai oleh terjadinya pergeseran kolam hangat yang biasanya berada di perairan Indonesia ke arah timur (Pasifik Tengah) yang diiringi oleh pergeseran lokasi pembentukan awan yang biasanya terjadi di wilayah Indonesia ke arah timur yaitu di Samudra Pasifik Tengah. Dengan bergesernya lokasi pembentukan awan tersebut, maka timbul kekeringan yang berkepanjangan di Indonesia. Kondisi yang berlawanan dengan El Nino disebut La Nina, yang sering diasosiasikan dengan kejadian banjir di Indonesia.
ENSO merupakan fenomena interaksi dari lautan dan atmosfer di Samudera Pasifik dimana EL Nino adalah fenomena lautan dan Southern Oscillation adalah fenomena atmosfer. Indikator yang digunakan untuk mengatahui enso adalah Indeks Osilasi Selatan (SOI) dan anomali suhu permukaan laut (SPL) di Samudera Pasifik. Anomali SPL di pasifik ekuator berkaitan erat dengan Sirkulasi Walker. Daerah dengan SPL tinggi merupakan pusat tekanan udara rendah dan merupakan daerah konvektif, sehingga menjadi penggerak utama Sirkulasi Walker selanjutnya. Pada Sirkulasi Walker normal (Gambar 4.a), titik konvektif berada pada wilayah Indonesia, Amerika, dan Afrika di sepanjang ekuator. Namun dengan pergeseran SPL tinggi dari Indonesia ke arah timur pada saat terjadi El Nino, maka titik konvektif pun bergeser mengikuti SPL sehingga terjadi perubahan Sirkulasi Walker. Fenomena ini dikenal sebagai elnino (Gambar 4.b). Fenomena yang berkebalikan dengan kejadian elnino adalah La Nina, yaitu bergesernya daerah SPL tinggi ke barat, sehingga terjadi perubahan titik konvektif ke barat pula.
Kuat lemahnya ENSO diukur dari selisih tekanan udara antara Pasifik tropis bagian barat dan Pasifik bagian timur. Indek Osilasi Selatan (SOI, Southern Oscillation Index) biasa digunakan untuk menyatakan kuat lemahnya osilasi, yang menunjukkan selisih tekanan udara antara Darwin dan Tahiti. Pemilihan lokasi Darwin dan Tahiti dikarenakan karena dua lokasi tersebut memiliki data tekanan udara harian yang panjang dan terbaik (Partridge dan Ma’shum et al 2002). Nilai SOI negatif terjadi ketika tekanan udara di Tahiti lebih rendah daripada tekanan udara Darwin. Kondisi SOI negatif yang kuat (ekstrim) menandakan fenomena EL Nino, sebaliknya SOI postif kuat menandakan fenomena La Nina.
Beberapa kajian telah menemukan bahwa pengaruh Osilasi Selatan sangat kuat terhadap wilayah yang memiliki pola hujan monsun, pengaruh sedang pada wilayah yang berpola hujan ekuatorial, dan pengaruh yang beragam (tidak jelas) pada pola hujan lokal. Beberapa kajian telah menemukan bahwa pengaruh Osilasi Selatan sangat kuat terhadap wilayah yang memiliki pola hujan monsun, pengaruh sedang pada wilayah yang berpola hujan ekuatorial, dan pengaruh yang beragam (tidak jelas) pada pola hujan lokal.
Pengaruh ENSO terhadap curah hujan di Indonesia bagian timur tidaklah konsisten sepanjang abad yang lalu. Artinya, tidak semua kekeringan disebabkan oleh El Nino, atau seluruh El Nino menyebabkan kekeringan yang luas, dan seluruh La Nina menyebabkan banjir. Keterkaitan curah hujan dengan ENSO pernah paling kuat terjadi pada periode 1891 hingga 1920 dan 1940 hingga sekarang, tetapi keterkaitan tersebut agak melemah pada periode 1921 hingga 1940 (Partridge dan Ma’shum et al 2002). Selain itu, pengaruh Boer (2003) menemukan bahwa pengaruh El-Nino lebih kuat terhadap hujan pada musim kemarau dari pada hujan pada musim hujan (Gambar 5). Demikian juga dengan pengaruh dari La Nina, yang juga lebih kuat pada hujan musim kemarau dari pada musim hujan (Gambar 5). Pengaruh El Nino dan La Nina pada peningkatan curah hujan pada musim hujan tidak begitu jelas. Secara rata-rata penurunan hujan dari normal akibat terjadinya El Nino dapat mencapai 80 mm per bulan sedangkan peningkatan hujan dari normal akibat terjadinya La Nina tidak lebih dari 40 mm.
Hubungan IODM, ENSO dan Curah Hujan di Indonesia
Fenomena IODM dan ENSO memiliki pengaruh yang jelas terhadap variasi curah hujan di Indonesia, namun besar-kecil pengaruhnya beragam dari satu tempat ke tempat yang lain. Saji (2000) menyatakan bahwa fenomena IODM merupakan hal yang terpisah dari ENSO. Pada suatu saat salah satu dari kedua fenomena tersebut menjadi dominan terhadap faktor lain, dan di saat lainnya memiliki pengaruh yang sama kuat (Li et al 2003). Studi yang dilakukan Yamagata et al (2003) menyimpulkan bahwa secara garis besar pengaruh IODM di wilayah Indonesia menurun ke arah timur, sementara pengaruh ENSO menurun ke arah barat. Beberapa literatur juga menyebutkan bahwa pengaruh El Nino kuat pada daerah yang berpola hujan monsun, lemah pada daerah berpola hujan equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan pola hujan lokal, sedangkan IODM hanya berpengaruh jelas pada daerah berpola hujan monson.
Berdasarkan koefisien kemiripan curah hujannya, Liong et al (2003) mengelompokkan wilayah Indonesia menjadi 3, yaitu SEAM (South East Asia Monsoon) yang pola hujannya dipengaruhi secara kuat oleh tekanan di atas benua Asia, NAIM (North Australia Indonesia Monsoon) yang pola hujannya dipengaruhi secara kuat oleh tekanan di atas benua Australia dan MC(Maritime Continent) yang mempunyai pola hujan ekuator. Dari besar koefisien kemiripan dapat dilihat bahwa tidak ada daerah kepulauan Indonesia yang mempunyai koefisien kemiripan lebih besar daripada 0.5 untuk dapat dinyatakan terkelompok sebagai SEAM. Pulau Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan terkelompok sebagai NAIM. Kepulauan lainya akan terkelompok sebagai MC. Pengelompokan ini dibuat untuk memperjelas pengaruh ENSO pada prediksi kekeringan di Indonesia.
Liong et al (2003) mengatakan bahwa pengaruh ENSO cukup kuat untuk berbagai tempat di Indonesia. Dengan melihat anomali SPL (suhu permukaan laut) pada Nino 3.4, perioda 1961 sampai dengan 2001, wilayah MC bagian timur mempunyai koefisien korelasi sekitar –0,6 pada waktu terjadi El Nino, sedangkan wilayah NAIM hanya sekitar –0.3. Untuk wilayah MC bagian barat dan SEAM (South East Asia Monsoon) masih belum ada kesimpulan yang jelas karena ada yang berkorelasi –0.7 untuk Padang pada tahun El Nino 97/98 tetapi berkorelasi –0.2 pada tahun El Nino 82/83 demikian juga untuk Medan berkorelasi –0.45 pada tahun 97/98 tetapi berkorelasi 0.11 pada tahun 82/83, sehingga dapat dikatakan korelasinya dengan El Nino sangat lemah.
Untuk Maritime Continent barat khususnya Jawa Barat dan Sumatra Selatan pengaruh IODM diperhitungkan. Pada umumnya ketika terjadi El Nino, DMI (Dipole Mode Index) positif sehinga efeknya saling memperkuat tetapi ada kasus ketika bukan tahun El Nino Indonesia kering, ternyata ketika itu DMI positif, jadi tahun Indonesia kering ketika bukan tahun El Nino dapat dijelaskan dari pengaruh IODM (Gambar 6). Menurut Hendon (2003), variabilitas SPL di Nino 3.4 diperkirakan mempengaruhi 50% variasi curah hujan seluruh Indonesia, sedangkan variabilitas SPL di Samudera Hindia hanya mempengaruhi 10-15% curah hujan di seluruh Indonesia.
IODM berkaitan erat dengan variabilitas suhu dan curah hujan di wilayah yang dekat dengan Samudra Hindia. Ashok et al (2001, 2003) telah mempelajari bahwa kejadian-kejadian IODM positif mungkin meningkatkan curah hujan monsun musim panas di India. Pada dasarnya IODM merupakan fenomena sistem gabungan atmosfer dan laut yang memiliki mekanisme fisis yang mirip dengan ENSO, akan tetapi secara statistik tidak bergantung pada ENSO (Saji et al 1999; Ashok et al 2001). Ketidakbergantungan IODM terhadap ENSO salah satunya ditunjukkan oleh adanya kejadian IODM yang independen terhadap ENSO seperti tahun 1961 dan 1967 (Saji et.al, 1999). Pendataan kejadian ENSO dan IODM telah dilakukan oleh Saji dan Yamagata (2003) sbb:
Penemuan menarik yang dilakukan Behera dan Yamagata (2002) mengindikasikan bahwa terdapat pengaruh yang cukup kuat antara kejadian IODM dengan ENSO. Dengan menggunakan analisis korelasi parsial, telah ditemukan bahwa DMI memiliki korelasi puncak sebesar 0.4 dengan indeks tekanan udara Darwin, yang merupakan kutub barat (western pole) dari ENSO. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa tidak ada korelasi yang terjadi antara DMI dengan tekanan udara bagian timur Pasifik. Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat-saat tertentu, kejadian IODM memberikan pengaruh terhadap timbulnya ENSO.

SMS Gratis

Cara Buat Widget Ini