Rabu, 18 Mei 2011

Analisis Wacana


BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia berinteraksi dengan orang lain. Dengan menguasai berbagai bahasa, maka manusia bisa membuka jendela dunia dan memperoleh pengalaman yang sebelumnya mungkin tak terpikir bahkan membayangkannya.
Peningkatan penggunaan bahasa pada sesorang, dari proses berpikir yang terbentuk sejak anak-anak akan berubah sesuai dengan proses pendewasaan. Proses pendewasaan sesorang bisa dilihat dari kreativitas dalam menggunakan bahasa. Oleh sebab itu, cara dan kreatif. Misalnya jika sesorang diteriakan, jangan!, maka dengan spontan dia akan menghentikan tangannya untuk mengambil sesuatu. Dengan menghentikan tangannya, dia akan melakukan aktivitas berpikir, akan tetapi yang dipikirkan bukanlah makna jangan, melainkan mengapa saya dilarang.
Pernyataan yang penulis ungkapkan diperkuat oleh Aminudin dkk ( 2002 : 16 ) menyatakan bahwa, terdapatnya kreativitas penggunaan bahasa pada sisi lain dapat menunjukan bahwa lewat bahasa sesorang bisa keluar dari proses berpikir rutin yang terbentuk sejak anak –anak maupun akibat aktivitas sehari-hari.
Bahasa memiliki peranan yang sangat penting guna menuangkan ide pokok pikiranya, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Ketika sesorang mengemukakan gagasan, yang perlu diperhatikan bukan hanya kebahasaan melainkan juga harus ada pemahaman. Dengan adanya pemahaman, maksud dan tujuanpun akan tersampaikan secara jelas.
Jika sesorang sudah mampu menguasi keterampilan berbahasa dengan baik, akan mudah baginya untuk mengembangkan bakat yang dimilikinya. Salah satunya mampu menulis berita, berita yang dihasilkan akan dituangkan dalam bentuk wacana. Pada wacana yang dihasilkan, penulis perlu memperhatikan penggunaan kohesi dan koherensinya.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Analisis Wacana
Analisis wacana dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mengkaji organisasi wacana dalam tingkat kalimat atau klausa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa analisis wacana mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih besar seperti percakapan atau teks tertulis. Di samping itu, analisis wacana juga mengkaji pemakaian bahasa dalam konteks social termasuk interaksi diantara penutur-penutur bahasa (Stubbs, 1984 : 1). Istilah wacana mengacu ke rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan dan dapat pula memakai bahasa tulisan (Samsuri, 1987/88 : 1). Analisis wacana berusaha mencapai makna yang persis sama atau paling tidak sangat dekat dengan makna yang dimaksud oleh pembicara dalam wacana lisan, atau penulis dalam wacana tulis. Untuk mencapai tujuan itu, analisis wacana banyak menggunakan pola sosiolinguistik, yaitu suatu cabang ilmu bahasa yang menelaah bahasa di dalam masyarakat, piranti-piranti, serta temuan-temuannya yang penting (Kartomihardjo, 1992 : 1). Analisis wacana juga memanfaatkan hasil kajian pragmatic. Oleh karena itu, analisis wacana berupaya menafsirkan suatu wacana yang tidak terjangkau oleh semantic tertentu maupun sintaksis. Sebagai contohnya, perhatikan ujaran berikut :
1.      Jangan dilipat
2.      Rasanya seperti buka puasa
3.      Yang ini setelah makan siang, yang ini sebelum tidur malam
Ujaran (1) itu tertera pada sebuah amplop yang dikirim seseorang. Ujaran itu berfungsi sebagai peringatan kepada Pak Pos agar tidak melipat surat itu, karena di dalamnya berisi sesuatu yang dapat rusak kalau dilipat, misalnya foto. Ujaran (2) diucapkan oleh seorang peserta penataran yang sedang menghadapi menu makan malamnya. Ujaran itu menunjukkan bahwa dia sangat lapar. Dia mengutarakannya dengan membandingkan situasi yang dialaminya pada saat itu dengan situasi ketika dia menjalani puasa. Pendengar yang sudah merasa lapar saat puasa dan nikmatnya buka puasa mengetahui secara pasti apa yang dimaksudkan dalam ujaran itu. Dalam ujaran (3) walaupun kata kapsul yang biru dan tablet yang kecil-kecil tidak disebutkan, maksud ujaran itu dapat dipahami.
Dari contoh itu dapat diketahui bahwa ternyata kalimat-kalimat itu tidak lengkap. Bagian-bagian tertentu dalam kedua contoh itu ada yang ditinggalkan. Ujaran (I) dapat terjadi karena dukungan konteks terjadinya ujaran itu yang memungkinkan penafsiran local, sedangkan Ujaran (2) dapat terjadi karena adanya ‘pengetahuan tentang dunia’ yang sama disampaikan berdasarkan analogi. Ujaran (3) mengandung deiksis,ini yang merujuk ke benda yang dimaksudkan, yakni obat yang dibeli berdasarkan resep dokter. Wacana itu merupakan transaksi yang terjadi di apotik.

B. Analisis Wacana Sebagai Disiplin Ilmu
Analisis Wacana (discourse analysis)dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu yang sudah lama maupun yang masih baru. Asal-usul analisis wacana dapat ditelusuri hingga 2000 tahun yang lalu dalam kajian kesusasteraan dan pidato-pidato. Salah satu disiplin ilmu yang menonjol pada saat itu adalah retorika klasik (classical rhetoric), yaitu seni berbicara yang baik, termasuk merencanakan, menyusun dan menyajikan pidato umum dalam bidang politik maupun hokum (Dijk, 1998).
Asal-usul analisis wacana modern dapat ditelusuri pada dasawarsa 1960-an. Pada wktu itu di Prancis diterbitkan analisis struktur wacana, analisis cerita, analisis film sampai analisis foto-foto media cetak. Meskipun latar belakang, tujuan dan metode analisis masih beragam, banyaknya minat dalan kajian bidang kebahasaan secara luas itu akhirnya membentuk benang merah yang menjadikan wujud analisis wacana menjadi lebih utuh. Bersamaan dengan itu di Amerika Serikat Dell Hymes menerbitkan sebuah karya yang sangat berpengaruh yaitu Language in Culture and Society. Karya-karya awal analisis wacana dari dua belahan dunia itu didasarkan pada prinsip yang sama, yaitu mengawinkan antara linguistik struktural (structural linguistic) dan antropologi yang menekankan analisis pemakaian bahasa, bentuk wacana dan bentuk komunikasi. Karya-karya lain yang mengawali munculnya juga terbit pada dasawarsa 1960-an.
Pengamatan gejala perkembangan analisis wacana itu membuahkan beberapa kesimpulan. Diantaranya :
Ø  Pada mulanya analisis wacana merupaka kajian kebahasaan structural dan deskrptif dalam batas-batas linguistic dan antropologi.
Ø  Kajian pada tahun-tahun awal itu lebih mengarah ke analisis ragam wacana popular, seperti cerita rakyat, mitos, dongeng dan bentuk-bentuk interaksi social.
Ø  Analisis struktur kalimat atau wacana secara fungsional itu dipisahkan dari paradigm gramatika transformasi generatife yang juga berpengaruh pada metode analisis bahasa waktu itu (Dijk, 1998).
Kalau dasawarsa 1960-an merupakan periode lahirnya berbagai kajian pada teks dan peristiwa komunikasi, dasawarsa 1970-an memantapkan perkembangan analisis wacana yang sistematis sebagai bidang kajian tersendiri dengan dasarbeberapa disiplin ilmu. Perkembangan itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi disertai dengan perkembangan aspek-aspek lain.
Perkembangan pertama ialah perkembangan teoritis dan metodologis. Teori dan metodologi dalam analisis wacana juga dipengaruhi oleh perubahan paradigm dalam kajian bahasa. Misalnya sosiolinguistik menjadi mantap pada akhir dasawarsa 1960-an dengan karya-karya Joshua Fishman. Pada tahun 1972, Labov menerbitkan hasil penelitiannya tentang pemakaian bahasa Inggris oleh orang-orang kulit hitam yang memuat analisis bentuk percakapan antar remaja dan juga analisis pengalaman pribadi seseorang.
Perkembangan kedua yang cukup penting pada awal dasawarsa 1970-an ialah penemuan linguistik karya filsuf Austin, Grice dan Searle mengenai tindak bahasa (speech acts). Berbeda dengan sosiolinguistik yang menekankan peran variasi bahasa dan konteks social, pendekatan itu memandang ujaran verbal tidak saja sebagai kalimat, tetapi juga merupakan bentuk tindakan sosial tertentu. Sebagaimana kita ketahui apabila kalimat digunakan dalam konteks tertentu juga dapat mengemban fungsi, yaitu fungsi ilokusi, yang harus dijelaskan menurut maksud, kepercayaan atau evaluasi penutur, atau menurut hubungan penutur dan pendengar.  Dengan cara itu yang dapat dianalisis bukan saja hakekat konteks tetapi juga hubungan antar ujaran sebagai objek linguistik abstrak dan ujaran yang dipandang sebagai bentuk interaksi sosial. Dimensi baru itu menambah orientasi pragmatik pada komponen teoritis bahasa.
Perkembangan ketiga dalam kerangka teori gramatika itu sendiri seringkali diutarakan bahwa gramatika hendaknya jangan hanya memberikan penjelasan kalimat-kalimat lepas. Kajian pronominal dan pemarkah kohesif lain, koherensi,presuposisi, topik dan komentar, dan struktur semantik secara umum, cirri-ciri teks yang dipahami sebagai rangkaian kalimat mulai dikaji dalam linguistik dengan pandangan baru dan terpadu. Pendekatan itu mulai menunjukkan kinerjanya dengan mengkaji struktur pemakaian bahasa dengan munculnya kajian tentang teks dan wacana.
Kehadiran pendekatan baru itu melengkapi perhatian yang besar saat itu pada jenis-jenis wacana monolog (teks, dongeng, mitos dan lain-lain). Pemakaian bahasa secara spontan dan alamiah itu berwujud percakapan dan bentuk-bentuk dialog dalam situasi sosial. Orang menjadi tidak saja mengetahui kaidah-kaidah gramatika secara tak langsung, tetapi juga kaidah-kaidah alih giliran (turn-taking) dalam percakapan. Pendekatan itu menjadi pendekatan pertama yang mengkaji struktur kalimat dan gramatika interaksi verbal. Oleh karena itu, pendekatan itu tidak saja menambah dimensi baru dalam pengkajian struktur wacana monolog yang sudah banyak diminati pada waktu itu, tetapi juga memungkinkan pengkajian pemakaian bahasa sebagai bentuk interaksi sosial, sebagaimana yang telah dilakukan pragmatic atau teori tindak bahasa dalam istilah yang lebih formal dan filosofis. Analisis itu akhirnya berkembang pula ke analisis percakapan di kelas dan latar resmi yang lain. Dengan berkembangnya penellitian etnografi tentang peristiwa komunikasi yang disebut dengan etnografi komunikasi (ethnography of communication), ruang lingkung analisis wacana menjadi lebih berkembang. Analisis wacana tidak saja berhenti pada analisis bentuk sapaan, mitos dan interaksi ritual, tetapi juga menangani berbagai bentuk percakapan dalam kebudayaan yang berbeda, seperti salam, cerita spontan, pertemuan formal, perdebatan, dan bentuk-bentuk komunikasi dan interaksi verbal yang lain.

C. Menafsirkan Wacana
Apabila kita memusatkan perhatian pada uraian bahasa tertentu, kita biasanya memperhatikan perwujudan struktur dan kaidah yang digunakan dalam bahasa itu. Namun, sebagai pemakai bahasa, kita mampu berbuat lebih daripada hanya mengetahui struktur yang benar atau yang salah. Kita dapat memahami kata-kata seperti KA Sambar Truk, Lima tewas merupakan kepala berita dalam surat kabar, mengetahui adanya hubungan sebab akibat antara kedua frase tersebut. Wacana itu dapat ditafsirkan Kereta api menabrak truk yang melintas di atas rel. korban tewas kecelakaan itu ada lima orang. Kita juga dapat mencerna kata-kata seperti Ada uang, ada barang dan memahami adanya hubungan persyaratan diantara kedua frase tersebut. Wacana itu dapat ditafsirkan, (Jika pembeli menyerahkan uangnya, dia dapat menerima barangnya). Contoh lain, perhatikanlah ujaran Dilarang kencing kecuali anjing yang tertera di tembok-tembok dan bandingkan dengan Dilarang masuk kecuali petugas. Kedua ujaran tersebut memiliki bentuk sama. Seseorang yang masuk  dalam ruang diacu ujaran kedua tentunya petugas, tetapi seseorang kencing sebagaimana dimaksud ujaran pertama tentunya harus rela dianggap anjing, walaupun sebenarnya tetap berwujud manusia. Demikian pula kita dapat menemui contoh-contoh teks, yang tertulis dalam bahasa Indonesia, tampaknya banyak melanggar ‘kaidah’ bahasa Indonesia. Contoh berikut ini diambil dari karangan mahasiswa asing yang belajar bahasa Indonesia (Sadtono, 1989).
(4)‘ sesampainya di desa tujuan kami, yang ilmu peramalnya kuat itu tampaknya suasana amat aneh. Untuk pertama tak seorangpun kedengaran.kampungnya sunyi-sepi seolah-olah penduduk desa telah menyingkir atau pun meninggal. Menurut akal, tentu itu tidak mungkin. Bagaimana dapat isi satu kampong besar itu dapat dipupuskan, sedangkan mayat satu pun tidak ada. Berkemungkinan kecil juga bahwa penghuni rumah-rumah digusur tanpa kami diberitahu dulu.
Paragraph (4) di atas dapat berfungsi sebagai contoh sebagaimana kita menanggapi bahasa yang mengandung bentuk-bentuk yang gramatikal.  Kita tidak menolak teks itu karena tidak gramatikal, tetapi kita berusaha memahaminya. Kita berusaha menafsirkan secara logis apa yang disampaikan oleh penulis. Usaha untuk menafsirkan (dan ditafsirkan), dan bagaimana kita mencapainya merupakan unsure-unsur utama yang dikaji dalam analisis wacana. Untuk sampai penfsiran semacam itu, dan agar pesan-pesam yang disampaikan dapat ditafsirkan, tentunya kita cenderung bergantung pada bentuk dan struktur bahasa. Namun, sebagai pemakai bahasa, kita memiliki pengetahuan yang lebih luas daripada bentuk dan struktur bahasa itu.

D. Kohesi
Teks biasanya memiliki struktur tertentu. Struktur itu juga ditentukan oleh kelengkapan struktur kalimat. Sebagian faktor  yang menentukan kelengkapan struktur kalimat itu diberikan dalam kohesi (cohesion). Kohesi ialah ikatan-ikatan dan hubungan-hubungan yang ada dalam teks. Beberapa jenis ikatan kohesi dapat dilihat dalam teks berikut :
(5) Ketika aku berusia lima belas tahun, kakakku membelikanku sebuah sepeda, meskipun bukan sepeda baru. Dia memebriku sepeda itu sebagai hadiah untukku ketika aku diterima disebuah SMA terbaik dikotaku. Sepeda itu selalu kupakai pergi ke sekolah yang jaraknya sekitar empat kilometer darirumahku. Sepeda it uterus kurawat hingga aku melanjutkan ke perguruan tinggi. Suatu hari, salah seorang temanku meminjamnya. Sayangnya, sepeda itu dicuri seseorang ketika ditinggalkannya. Sebagai perwujudan tanggung jawabnya, dia mengganti sepeda itu dengan uang sepuluh ribu rupiah.
Hubungan – hubungan yang ada dalam teks itu mengacu ke orang dan barang yang sama : kakakku – dia; aku – ku – ku; sebuah sepeda – sepeda itu – nya; temanku – nya. Terdapat pola-pola hubungan leksikal seperti bukan sepeda baru, dan hubungan-hubungan yang lebih umum yang diciptakan oleh sejumlah istilah yang biasa membentuk suatu kesatuan makna (misalnya, barang) membelikan – member – kupakai – kurawat – meminjam – dicuri  ; (misalnya, waktu) lima belas tahun – ketika aku diterima di SMA terbaik di kotaku – melanjutkan ke perguruan tinggi. Juga terdapat penghubung, sayangnya, yang menandai hubungan apa yang mengikuti sesuatu yang terjadi sebelumnya.
Analisis hubungan-hubungan kohesif dalam teks seperti itu member kita wawasan untuk mengetahui bagaimana peranan penulis menentukan apa yang ingin dikatakannya. Di samping itu, kita juga dapat mengetahui apakah sesuatu disampaikan itu telah tertulis dengan baik atau tidak. Berikut ini merupakan contoh lain tentang teks kohesi yang ditandai dengan pemakaian pemarkah-pemarkah tertentu.
(6) Sewindu yang lalu dia pertama kali menjumpai gadis yang dikaguminya. Retno namanya. Saat itu Retno dilihatnya sedang menonton pertunjukkan kesenian muda-mudi di sebuah desa di pantai selatan. Perkenalannya berlanjut dengan kunjungan, guyonan, dan rujakan. Rasa trisna pun mulai merambati hatinya amat dalam. Sayangnya, hati Retno masih menjadi misteri. Keramahan dan segala tanduk Retno rasanya tak cukup untuk meyakinkan apakah kasihnya terbalas atau tidak. Tiga tahun kemudian, Retno ditugaskan mengajar di sebuah SMA di sebuah kecamatan di Blitar, sedangkan dia sendiri mendapat kesempatan meneruskan kuliah di S-2. Kabar pun kemudian terputus, walaupun kenangan bersama Retno tak dapat dilupakannya.
Hari ini dia mengantar para mahasiswa mengikuti praktek mengajar di SMA Tugu di kawasan Alun-alun Bunder. Sekolah itu tampaknya rapid dan asri karena dipersiapkan untuk memperingati hari kemerdekaan yang datang delapan hari lagi. Dia memasuki ruang guru, tempat dilaksanakannya acara menyambut mahasiswa praktek itu. Ndilalah, dilihatnya Retno berada di antara deretan guru-guru yang diperkenalkan. Deg. Hatinya tidak karuan. Dalam hati dia bertekad akan menemuinya setelah acara penerimaan itu selesai.
“Retno”, sapanya di sela keriuhan para mahasiswa yang sibuk mencari guru pamong mereka. Retno menatapnya. Tatapan itu meneduhkannya. Dijabatnya tangan Retno yang halus seraya berusaha menebak-nebak apa yang dipikirkan Retno saat itu. Retno tersenyum. Senyum itu dirasakannya masih seperti senyum yang dulu, senyum untuknya. Namun kemudian Retno tersipu, sambil berusaha menutupi buah hati yang dikandung di balik daster abu-abunya.
Wacana di atas mengandung pemarkah temporal seperti sewindu yang lalu, tiga tahun kemudian dan hari ini, pemarkah adversatife seperti walaupun, tetapi, pemarkah kausal seperti ndilalah (bahasa jawa) dan pemarkah aditif seperti dan. Pemakaian pemarkah-pemarkah kohesif semacam itu sangat membantu penafsiran pesan yang disampaikan dalam wacana itu.
Namun kohesi itu belum cukup untuk membantu kita agar dapat sampai pada makna teks yang dibaca. Tidaklah sulit sebenarnya untuk menciptakan teks yang sangat kohesif yang memiliki hubungan antar kalimat-kalimatnya, tetapi sulit sekali untuk dicerna. Perhatikan teks berikut ini mempunya hubungan seperti Sekolah dasar – sekolah dasar; Candi Borobudur – candi itu; Pulau Jawa – pulau jawa, dan seterusnya.
(7) Ayahnya seorang pemilik sekolah dasar. Sekolah dasar yang berada di desa itu roboh sebelum genap dipakai selama empat tahun. Empat tahun yang lalu ia berwisata ke Candi Borobudur. Candi Borobudur terletak di tengah-tengah Pulau Jawa. Pulau Jawa akan dihuni oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Dari contoh tersebut kita mengetahui bahwa keterikatan yang disertakan dalam menafsirkan teks tidak saja didasarkan pada hubungan antar kata-kata dalam teks itu. Pastilah terdapat faktor lain yang menuntun kita untuk membedakan teks-teks yang berkaitan. Faktor itu biasanya disebut koherensi.

E. Koherensi
Kunci utama pengertian koherensi tidak terletak pada bahasa yang digunakan, tetapi juga dalam diri manusia itu sendiri. Manusia mencerna wacana yang dibaca dan didengar. Mereka mencoba untuk sampai pada suatu penafsiran yang sesuai dengan pengalaman mereka tentang peristiwa-peristiwa di dunia.
Sebenarnya, kemampuan untuk mencerna itu merupakan bagian kecil dari kemampuan umum yang kita miliki untuk mencerna peristiwa yang dialami di dunia ini. Kita tentunya pernah membaca teks dan mencoba mencocokkan teks itu dengan situasi tau pengalaman yang dapat menerima semua rincian teks itu. Dalam waktu yang cukup lama mungkin saja kita dapat menemukan cara untuk merangkai semua elemen terpisah itu menjadi penafsiran yang koheren. Ketika melakukannya kita harus terlibat proses pengisian kesenjangan yang ada dalam teks itu. Kita harus menciptakan hubungan bermakna yang sebenarnya tidak tersuratkan dengan kata-kata dan kalimat-kalimat teks itu. Proses itu tidak terlepas dari upaya memahami teks-teks yang ‘aneh’. Pada situasi lain, kita tampaknya perlu terlibat dalam penafsiran semua wacana.
Keterlibatan kita untuk menafsirkan semua wacana itu seringkali terjadi dalam percakapan sehari-hari. Kita terus berperan dalam interaksi percakapan yang mengandung makna yang tidak tersiratkan dalam apa yang dikatakan. Mungkin itulah kemudahan yang dapat digunakan untuk menduga maksud lawan bicara kita. Contoh berikut ini diambilkan dari Widdowson (1978) :
(8) Istri      : Ada telepon, Pak.
     Suami   : Saya sedang mandi.
     Istri       : Baiklah.
Percakapan itu tidak mengandung ikatan-ikatan kohesif. Bagaimanakah para peserta percakapan mencerna ujaran peserta yang lain? Mereka tentu saja menggunakan informasi yang terkandung dalam kalimat-kalimat yang diungkapkan, tetapi pastilah terdapat sesuatu yang lain dilibatkan dalam penafsiran wacana itu.
Percakapan semacam itu akan dapat dipahami dengan baik melalui tindakan-tindakan konvensional yang dilakukan oleh para pembicara dalam percakapan itu. Apabila kita menarik konsep yang dihasilkan dari kajian tindak ukur, kita dapat menguraikan percakapan ringkas di atas dengan cara sebagai berikut :
v  Istri meminta suaminya untuk melakukan sesuatu. (mengangkat gagang telepon).
v  Suami mengatakan alasannya mengapa ia tidak dapat memenuhi permintaan istri.
v  Istri melakukan tindakan itu sendiri.
Jika analisis itu merupakan analisis logis tentang apa yang terjadi dalam percakapan, jelaslah bahwa para pemakai bahasa tidak saja memiliki pengetahuan bahasa, tetapi juga tentang bagaimana interaksi percakapan dapat berlangsung. Upaya untuk menguraikan aspek-aspek pengetahuan itu telah menjadi titik tekan penelitian yang dilakukan oleh para ahli wacana.
Dalam mengupas keterlibatan kita dalam percakapan atau peristiwa tutur yang lain (misalnya debat, wawancara, dan berbagai macam diskusi), kita dengan cepat mengetahui bahwa terdapat variasi ujaran dalam situasi yang berbeda. Penguraian sumber variasi menghendaki sejumlah persyaratan. Misalnya, kita harus mengkhususkan peranan yang dimainkan oleh pembicara dan pendengar, atau para pendengar, dan hubungan antara kedua pihak, apakah mereka itu sahabat, orang asing, muda tua, atau berasal dari status yang sama, dan seterusnya. Semua faktor itu mempengaruhi apa yang dikatakan dan bagaimana sesuatu itu dikatakan. Kita harus mengurai topik percakapan dan dalam situasi bagaimana percakapan itu terjadi. Namun demikian, kita memiliki pengetahuan yang cukup canggih tentang bagaimana percakapan itu berlangsung.

F. Interaksi Percakapan
Percakapan dapat dinyatakan sebagai suatu kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih secara bergantian. Pada umunya, hanya satu orang saja yang berbicara pada satu saat tertentu dan cenderung terdapat upaya untuk menghindari suasana hening di antara pergantian percakapan itu. Dalam budaya bangsa tertentu adakalanya suasana hening itu malah diciptakan. Jika ternyata lebih dari satu peserta percakapan itu berusaha mengatakan sesuatu pada saat bersamaan, biasanya salah satu dari mereka akan berhenti dulu.
Pada umunya peserta percakapan menunggu sampai seorang pembicara menunjukkan bahwa dia telah selesai berkata, biasanya dengan memberikan tanda usai (completion point). Pembicara dapat memberikan tanda usai dengan berbagai cara, misalnya dengan bertanya atau berhenti pada akhir struktur sintaksis seperti frase atau kalimat. Sebagian penelitian dalam analisis wacana menunjukkan gaya dan strategi percakapan yang berbeda dalam interaksi percakapan. Sebagian strategi itu kadang dinilai ‘tidak sopan’ atau ‘malu’. Satu strategi dirancang untuk menghindari terjadinya tanda usai, yang biasa dipakai oleh Politisi, juru dakwah atau penceramah. Para pemakai strategi itu yang disebut terakhir itu berupaya menggali sebanyak mungkin apa yang akan dikatakannya pada saat sedang berkata. Cara lain untuk tetap dapat menggunakan kesempatan berbicara ialah dengan menghindari kedua indikasi itu secara bersamaan, yaitu tidak membuat jeda pada akhir kalimat, dan kalimat dibuat agar terus mengalir dengan mengalir dengan menggunakan penghubung dan, kemudian, selanjutnya atau tetapi.
Jeda itu dapat diletakkan di bagian pesan yang belum tuntas dan istilah jeda itu dengan penanda seperti ehm, ah, uh. Jeda dalam contoh berikut ini tidak diletakkan pada akhir tiap-tiap kalimat.
Berita kekeringan yang dilansir oleh beberapa surat kabar dan televise itu … membuat naiknya harga beras. Padahal … dalam kenyataannya, wilayah yang mengalami kekeringan itu … tidak luas …. Daripada yang terjadi tahun 1991. Daerah persawahan … yang belum dinyatakan puso masih luas. Bahkan …. Penen raya terjadi di wilayah Mojokerto dan Kalimantan Timur. Beberapa daerah lain … diperkirakan menyusul.

G. Pengetahuan Tentang Dunia.
Contoh yang baik tentang proses yang dilibatkan dalam pemakaian pengetahuan tentang dunia (knowledge of the world) diberikan oleh Stanford & Garrod (1981 sebagaimana dikutip oleh Yule, 1985 : 111). Contoh itu dimulai dengan dua kalimat berikut ini :
v  Joni berangkat ke sekolah hari jumat yang lalu.
v  Dia benar-benar cemas dengan pelajaran matematika.
Kebanyakan orang diminta untuk membaca kedua kalimat itu melaporkan bahwa mereka menganggap Joni adalah seorang murid. Oleh karena itu informasi itu tidak langsung dinyatakan di dalam teks, informasi itu disebut sebagai inferensi. Aspek inferensi yang menarik ialah referensi merupakan penafsiran yang mudah hilang dari pembaca jika tidak cocok dengan informasi berikutnya. Pengetahuan tentang dunia juga dapat digunakan untuk membantu memutuskan tanggapan apa yang seharusnya diberikan oleh orang yang menafsirkan ujaran penutur.

H. Analisis Percakapan di Kelas.
Sebagaimana dikemukakan bahwa analisis wacana juga mencakup analisis percakapan dalam kelas. Percakapan terjadi dalam interaksi antara pengajar dan pembelajar. Pengajar biasanya berusaha mengamatai apakah pembelajar mengikuti apa yang dikatakannya. Oleh karena itulah, dalam peranannya sebagai orang yang berwenang pada kemampuan para pembelajar, pengajar memakai beberapa jenis fungsi bahasa. Contoh itu diadaptasi dari Stubbs (1984 : 50-53). Di dalam kelas pengajar biasanya menggunakan bahasa antara lain untuk menarik perhatian pembelajar, memantau jumlah perkataan, memeriksa pemahaman, meringkas, mendefinisikan, menyunting, membenarkan, dan menspesifikasikan topic. Fungsi-fungsi bahasa yang dipakai oleh pengajar itu dijelaskan secara berurutan sebagai berikut :
1. Menarik perhatian pembelajar.
Contoh ujaran yang dipakai oleh pengajar adalah sebagai berikut :
v  Jangan menulis dulu, dengarkan saja.
v  Baiklah, kita mulai sekarang
v  Tunggu. Kita lihat dulu kenyataannya
v  (Bertepuk tangan) Bagus, bagus !
v  Kamu berdua yang duduk di belakang.
2. Memantau jumlah perkataan.
Upaya memantau itu dapat dilakukan dalam bentuk perintah kepada pembelajar untuk mengatakan atau permintaan agar tidak berbicara. Contoh :
v  Kau ingin berpendapat tentang hal ini?
v  Pardi? (jeda panjang) Susi?

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar yea :

SMS Gratis

Cara Buat Widget Ini