BAB
I
PENDAHULUAN
Bahasa
merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia berinteraksi dengan orang
lain. Dengan menguasai berbagai bahasa, maka manusia bisa membuka jendela dunia
dan memperoleh pengalaman yang sebelumnya mungkin tak terpikir bahkan
membayangkannya.
Peningkatan
penggunaan bahasa pada sesorang, dari proses berpikir yang terbentuk sejak
anak-anak akan berubah sesuai dengan proses pendewasaan. Proses pendewasaan
sesorang bisa dilihat dari kreativitas dalam menggunakan bahasa. Oleh sebab
itu, cara dan kreatif. Misalnya jika sesorang diteriakan, jangan!, maka dengan
spontan dia akan menghentikan tangannya untuk mengambil sesuatu. Dengan
menghentikan tangannya, dia akan melakukan aktivitas berpikir, akan tetapi yang
dipikirkan bukanlah makna jangan, melainkan mengapa saya dilarang.
Pernyataan
yang penulis ungkapkan diperkuat oleh Aminudin dkk ( 2002 : 16 ) menyatakan
bahwa, terdapatnya kreativitas penggunaan bahasa pada sisi lain dapat
menunjukan bahwa lewat bahasa sesorang bisa keluar dari proses berpikir rutin
yang terbentuk sejak anak –anak maupun akibat aktivitas sehari-hari.
Bahasa
memiliki peranan yang sangat penting guna menuangkan ide pokok pikiranya, baik
dalam bentuk lisan maupun tulisan. Ketika sesorang mengemukakan gagasan, yang
perlu diperhatikan bukan hanya kebahasaan melainkan juga harus ada pemahaman.
Dengan adanya pemahaman, maksud dan tujuanpun akan tersampaikan secara jelas.
Jika
sesorang sudah mampu menguasi keterampilan berbahasa dengan baik, akan mudah
baginya untuk mengembangkan bakat yang dimilikinya. Salah satunya mampu menulis
berita, berita yang dihasilkan akan dituangkan dalam bentuk wacana. Pada wacana
yang dihasilkan, penulis perlu memperhatikan penggunaan kohesi dan
koherensinya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Analisis Wacana
Analisis
wacana dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mengkaji organisasi wacana dalam
tingkat kalimat atau klausa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa analisis
wacana mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih besar seperti percakapan
atau teks tertulis. Di samping itu, analisis wacana juga mengkaji pemakaian
bahasa dalam konteks social termasuk interaksi diantara penutur-penutur bahasa
(Stubbs, 1984 : 1). Istilah wacana mengacu ke rekaman kebahasaan yang utuh
tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan dan
dapat pula memakai bahasa tulisan (Samsuri, 1987/88 : 1). Analisis wacana
berusaha mencapai makna yang persis sama atau paling tidak sangat dekat dengan
makna yang dimaksud oleh pembicara dalam wacana lisan, atau penulis dalam
wacana tulis. Untuk mencapai tujuan itu, analisis wacana banyak menggunakan
pola sosiolinguistik, yaitu suatu cabang ilmu bahasa yang menelaah
bahasa di dalam masyarakat, piranti-piranti, serta temuan-temuannya yang
penting (Kartomihardjo, 1992 : 1). Analisis wacana juga memanfaatkan hasil kajian
pragmatic. Oleh karena itu, analisis wacana berupaya menafsirkan suatu wacana
yang tidak terjangkau oleh semantic tertentu maupun sintaksis. Sebagai
contohnya, perhatikan ujaran berikut :
1.
Jangan dilipat
2.
Rasanya seperti buka puasa
3.
Yang ini setelah makan siang, yang ini sebelum tidur malam
Ujaran
(1) itu tertera pada sebuah amplop yang dikirim seseorang. Ujaran itu berfungsi
sebagai peringatan kepada Pak Pos agar tidak melipat surat itu, karena di
dalamnya berisi sesuatu yang dapat rusak kalau dilipat, misalnya foto. Ujaran
(2) diucapkan oleh seorang peserta penataran yang sedang menghadapi menu makan
malamnya. Ujaran itu menunjukkan bahwa dia sangat lapar. Dia mengutarakannya
dengan membandingkan situasi yang dialaminya pada saat itu dengan situasi
ketika dia menjalani puasa. Pendengar yang sudah merasa lapar saat puasa dan
nikmatnya buka puasa mengetahui secara pasti apa yang dimaksudkan dalam ujaran
itu. Dalam ujaran (3) walaupun kata kapsul yang biru dan tablet yang
kecil-kecil tidak disebutkan, maksud ujaran itu dapat dipahami.
Dari
contoh itu dapat diketahui bahwa ternyata kalimat-kalimat itu tidak lengkap.
Bagian-bagian tertentu dalam kedua contoh itu ada yang ditinggalkan. Ujaran (I)
dapat terjadi karena dukungan konteks terjadinya ujaran itu yang memungkinkan
penafsiran local, sedangkan Ujaran (2) dapat terjadi karena adanya ‘pengetahuan
tentang dunia’ yang sama disampaikan berdasarkan analogi. Ujaran (3) mengandung
deiksis,ini yang merujuk ke benda yang dimaksudkan, yakni obat yang dibeli
berdasarkan resep dokter. Wacana itu merupakan transaksi yang terjadi di
apotik.
B. Analisis
Wacana Sebagai Disiplin Ilmu
Analisis
Wacana (discourse analysis)dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu yang
sudah lama maupun yang masih baru. Asal-usul analisis wacana dapat ditelusuri
hingga 2000 tahun yang lalu dalam kajian kesusasteraan dan pidato-pidato. Salah
satu disiplin ilmu yang menonjol pada saat itu adalah retorika klasik (classical
rhetoric), yaitu seni berbicara yang baik, termasuk merencanakan, menyusun
dan menyajikan pidato umum dalam bidang politik maupun hokum (Dijk, 1998).
Asal-usul
analisis wacana modern dapat ditelusuri pada dasawarsa 1960-an. Pada wktu itu
di Prancis diterbitkan analisis struktur wacana, analisis cerita, analisis film
sampai analisis foto-foto media cetak. Meskipun latar belakang, tujuan dan
metode analisis masih beragam, banyaknya minat dalan kajian bidang kebahasaan
secara luas itu akhirnya membentuk benang merah yang menjadikan wujud analisis
wacana menjadi lebih utuh. Bersamaan dengan itu di Amerika Serikat Dell
Hymes menerbitkan sebuah karya yang sangat berpengaruh yaitu Language in
Culture and Society. Karya-karya awal analisis wacana dari dua belahan
dunia itu didasarkan pada prinsip yang sama, yaitu mengawinkan antara
linguistik struktural (structural linguistic) dan antropologi yang
menekankan analisis pemakaian bahasa, bentuk wacana dan bentuk komunikasi.
Karya-karya lain yang mengawali munculnya juga terbit pada dasawarsa 1960-an.
Pengamatan
gejala perkembangan analisis wacana itu membuahkan beberapa kesimpulan.
Diantaranya :
Ø Pada mulanya analisis wacana merupaka kajian kebahasaan structural
dan deskrptif dalam batas-batas linguistic dan antropologi.
Ø Kajian pada tahun-tahun awal itu lebih mengarah ke analisis ragam
wacana popular, seperti cerita rakyat, mitos, dongeng dan bentuk-bentuk
interaksi social.
Ø Analisis struktur kalimat atau wacana secara fungsional itu
dipisahkan dari paradigm gramatika transformasi generatife yang juga
berpengaruh pada metode analisis bahasa waktu itu (Dijk, 1998).
Kalau
dasawarsa 1960-an merupakan periode lahirnya berbagai kajian pada teks dan
peristiwa komunikasi, dasawarsa 1970-an memantapkan perkembangan analisis
wacana yang sistematis sebagai bidang kajian tersendiri dengan dasarbeberapa
disiplin ilmu. Perkembangan itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi
disertai dengan perkembangan aspek-aspek lain.
Perkembangan
pertama ialah perkembangan teoritis dan metodologis. Teori dan metodologi dalam
analisis wacana juga dipengaruhi oleh perubahan paradigm dalam kajian bahasa.
Misalnya sosiolinguistik menjadi mantap pada akhir dasawarsa 1960-an dengan
karya-karya Joshua Fishman. Pada tahun 1972, Labov menerbitkan
hasil penelitiannya tentang pemakaian bahasa Inggris oleh orang-orang kulit
hitam yang memuat analisis bentuk percakapan antar remaja dan juga analisis
pengalaman pribadi seseorang.
Perkembangan
kedua yang cukup penting pada awal dasawarsa 1970-an ialah penemuan linguistik
karya filsuf Austin, Grice dan Searle mengenai tindak
bahasa (speech acts). Berbeda dengan sosiolinguistik yang menekankan
peran variasi bahasa dan konteks social, pendekatan itu memandang ujaran verbal
tidak saja sebagai kalimat, tetapi juga merupakan bentuk tindakan sosial
tertentu. Sebagaimana kita ketahui apabila kalimat digunakan dalam konteks
tertentu juga dapat mengemban fungsi, yaitu fungsi ilokusi, yang harus
dijelaskan menurut maksud, kepercayaan atau evaluasi penutur, atau menurut
hubungan penutur dan pendengar. Dengan
cara itu yang dapat dianalisis bukan saja hakekat konteks tetapi juga hubungan
antar ujaran sebagai objek linguistik abstrak dan ujaran yang dipandang sebagai
bentuk interaksi sosial. Dimensi baru itu menambah orientasi pragmatik pada
komponen teoritis bahasa.
Perkembangan
ketiga dalam kerangka teori gramatika itu sendiri seringkali diutarakan bahwa
gramatika hendaknya jangan hanya memberikan penjelasan kalimat-kalimat lepas.
Kajian pronominal dan pemarkah kohesif lain, koherensi,presuposisi, topik dan
komentar, dan struktur semantik secara umum, cirri-ciri teks yang dipahami
sebagai rangkaian kalimat mulai dikaji dalam linguistik dengan pandangan baru
dan terpadu. Pendekatan itu mulai menunjukkan kinerjanya dengan mengkaji
struktur pemakaian bahasa dengan munculnya kajian tentang teks dan wacana.
Kehadiran
pendekatan baru itu melengkapi perhatian yang besar saat itu pada jenis-jenis
wacana monolog (teks, dongeng, mitos dan lain-lain). Pemakaian bahasa secara
spontan dan alamiah itu berwujud percakapan dan bentuk-bentuk dialog dalam
situasi sosial. Orang menjadi tidak saja mengetahui kaidah-kaidah gramatika
secara tak langsung, tetapi juga kaidah-kaidah alih giliran (turn-taking)
dalam percakapan. Pendekatan itu menjadi pendekatan pertama yang mengkaji struktur
kalimat dan gramatika interaksi verbal. Oleh karena itu, pendekatan itu tidak
saja menambah dimensi baru dalam pengkajian struktur wacana monolog yang sudah
banyak diminati pada waktu itu, tetapi juga memungkinkan pengkajian pemakaian
bahasa sebagai bentuk interaksi sosial, sebagaimana yang telah dilakukan
pragmatic atau teori tindak bahasa dalam istilah yang lebih formal dan
filosofis. Analisis itu akhirnya berkembang pula ke analisis percakapan di
kelas dan latar resmi yang lain. Dengan berkembangnya penellitian etnografi
tentang peristiwa komunikasi yang disebut dengan etnografi komunikasi (ethnography
of communication), ruang lingkung analisis wacana menjadi lebih berkembang.
Analisis wacana tidak saja berhenti pada analisis bentuk sapaan, mitos dan interaksi
ritual, tetapi juga menangani berbagai bentuk percakapan dalam kebudayaan yang
berbeda, seperti salam, cerita spontan, pertemuan formal, perdebatan, dan
bentuk-bentuk komunikasi dan interaksi verbal yang lain.
C. Menafsirkan
Wacana
Apabila
kita memusatkan perhatian pada uraian bahasa tertentu, kita biasanya
memperhatikan perwujudan struktur dan kaidah yang digunakan dalam bahasa itu.
Namun, sebagai pemakai bahasa, kita mampu berbuat lebih daripada hanya
mengetahui struktur yang benar atau yang salah. Kita dapat memahami kata-kata
seperti KA Sambar Truk, Lima tewas merupakan kepala berita dalam surat
kabar, mengetahui adanya hubungan sebab akibat antara kedua frase tersebut.
Wacana itu dapat ditafsirkan Kereta api menabrak truk yang melintas di atas rel.
korban tewas kecelakaan itu ada lima orang. Kita juga dapat mencerna
kata-kata seperti Ada uang, ada barang dan memahami adanya hubungan
persyaratan diantara kedua frase tersebut. Wacana itu dapat ditafsirkan, (Jika
pembeli menyerahkan uangnya, dia dapat menerima barangnya). Contoh lain,
perhatikanlah ujaran Dilarang kencing kecuali anjing yang tertera di
tembok-tembok dan bandingkan dengan Dilarang masuk kecuali petugas.
Kedua ujaran tersebut memiliki bentuk sama. Seseorang yang masuk dalam ruang diacu ujaran kedua tentunya
petugas, tetapi seseorang kencing sebagaimana dimaksud ujaran pertama tentunya
harus rela dianggap anjing, walaupun sebenarnya tetap berwujud manusia.
Demikian pula kita dapat menemui contoh-contoh teks, yang tertulis dalam bahasa
Indonesia, tampaknya banyak melanggar ‘kaidah’ bahasa Indonesia. Contoh berikut
ini diambil dari karangan mahasiswa asing yang belajar bahasa Indonesia
(Sadtono, 1989).
(4)‘
sesampainya di desa tujuan kami, yang ilmu peramalnya kuat itu tampaknya
suasana amat aneh. Untuk pertama tak seorangpun kedengaran.kampungnya
sunyi-sepi seolah-olah penduduk desa telah menyingkir atau pun meninggal.
Menurut akal, tentu itu tidak mungkin. Bagaimana dapat isi satu kampong besar
itu dapat dipupuskan, sedangkan mayat satu pun tidak ada. Berkemungkinan kecil
juga bahwa penghuni rumah-rumah digusur tanpa kami diberitahu dulu.
Paragraph
(4) di atas dapat berfungsi sebagai contoh sebagaimana kita menanggapi bahasa
yang mengandung bentuk-bentuk yang gramatikal. Kita tidak menolak teks itu karena tidak
gramatikal, tetapi kita berusaha memahaminya. Kita berusaha menafsirkan secara
logis apa yang disampaikan oleh penulis. Usaha untuk menafsirkan (dan
ditafsirkan), dan bagaimana kita mencapainya merupakan unsure-unsur utama yang
dikaji dalam analisis wacana. Untuk sampai penfsiran semacam itu, dan agar
pesan-pesam yang disampaikan dapat ditafsirkan, tentunya kita cenderung
bergantung pada bentuk dan struktur bahasa. Namun, sebagai pemakai bahasa, kita
memiliki pengetahuan yang lebih luas daripada bentuk dan struktur bahasa itu.
D. Kohesi
Teks biasanya memiliki
struktur tertentu. Struktur itu juga ditentukan oleh kelengkapan struktur
kalimat. Sebagian faktor yang menentukan
kelengkapan struktur kalimat itu diberikan dalam kohesi (cohesion).
Kohesi ialah ikatan-ikatan dan hubungan-hubungan yang ada dalam teks. Beberapa
jenis ikatan kohesi dapat dilihat dalam teks berikut :
(5) Ketika aku berusia lima belas tahun, kakakku membelikanku
sebuah sepeda, meskipun bukan sepeda baru. Dia memebriku sepeda itu sebagai
hadiah untukku ketika aku diterima disebuah SMA terbaik dikotaku. Sepeda itu
selalu kupakai pergi ke sekolah yang jaraknya sekitar empat kilometer
darirumahku. Sepeda it uterus kurawat hingga aku melanjutkan ke perguruan
tinggi. Suatu hari, salah seorang temanku meminjamnya. Sayangnya, sepeda itu
dicuri seseorang ketika ditinggalkannya. Sebagai perwujudan tanggung jawabnya,
dia mengganti sepeda itu dengan uang sepuluh ribu rupiah.
Hubungan
– hubungan yang ada dalam teks itu mengacu ke orang dan barang yang sama :
kakakku – dia; aku – ku – ku; sebuah sepeda – sepeda itu – nya; temanku – nya.
Terdapat pola-pola hubungan leksikal seperti bukan sepeda baru, dan
hubungan-hubungan yang lebih umum yang diciptakan oleh sejumlah istilah yang
biasa membentuk suatu kesatuan makna (misalnya, barang) membelikan – member
– kupakai – kurawat – meminjam – dicuri ; (misalnya, waktu) lima belas tahun –
ketika aku diterima di SMA terbaik di kotaku – melanjutkan ke perguruan tinggi.
Juga terdapat penghubung, sayangnya, yang menandai hubungan apa yang
mengikuti sesuatu yang terjadi sebelumnya.
Analisis
hubungan-hubungan kohesif dalam teks seperti itu member kita wawasan untuk
mengetahui bagaimana peranan penulis menentukan apa yang ingin dikatakannya. Di
samping itu, kita juga dapat mengetahui apakah sesuatu disampaikan itu telah
tertulis dengan baik atau tidak. Berikut ini merupakan contoh lain tentang teks
kohesi yang ditandai dengan pemakaian pemarkah-pemarkah tertentu.
(6) Sewindu
yang lalu dia pertama kali menjumpai gadis yang dikaguminya. Retno namanya.
Saat itu Retno dilihatnya sedang menonton pertunjukkan kesenian muda-mudi di
sebuah desa di pantai selatan. Perkenalannya berlanjut dengan kunjungan, guyonan,
dan rujakan. Rasa trisna pun mulai merambati hatinya amat dalam.
Sayangnya, hati Retno masih menjadi misteri. Keramahan dan segala tanduk Retno
rasanya tak cukup untuk meyakinkan apakah kasihnya terbalas atau tidak. Tiga
tahun kemudian, Retno ditugaskan mengajar di sebuah SMA di sebuah kecamatan di
Blitar, sedangkan dia sendiri mendapat kesempatan meneruskan kuliah di S-2.
Kabar pun kemudian terputus, walaupun kenangan bersama Retno tak dapat
dilupakannya.
Hari ini dia mengantar para mahasiswa mengikuti praktek mengajar di
SMA Tugu di kawasan Alun-alun Bunder. Sekolah itu tampaknya rapid dan asri
karena dipersiapkan untuk memperingati hari kemerdekaan yang datang delapan
hari lagi. Dia memasuki ruang guru, tempat dilaksanakannya acara menyambut
mahasiswa praktek itu. Ndilalah, dilihatnya Retno berada di antara
deretan guru-guru yang diperkenalkan. Deg. Hatinya tidak karuan. Dalam
hati dia bertekad akan menemuinya setelah acara penerimaan itu selesai.
“Retno”,
sapanya di sela keriuhan para mahasiswa yang sibuk mencari guru pamong mereka.
Retno menatapnya. Tatapan itu meneduhkannya. Dijabatnya tangan Retno yang halus
seraya berusaha menebak-nebak apa yang dipikirkan Retno saat itu. Retno
tersenyum. Senyum itu dirasakannya masih seperti senyum yang dulu, senyum
untuknya. Namun kemudian Retno tersipu, sambil berusaha menutupi buah hati yang
dikandung di balik daster abu-abunya.
Wacana
di atas mengandung pemarkah temporal seperti sewindu yang lalu, tiga tahun
kemudian dan hari ini, pemarkah adversatife seperti walaupun, tetapi,
pemarkah kausal seperti ndilalah (bahasa jawa) dan pemarkah aditif
seperti dan. Pemakaian pemarkah-pemarkah kohesif semacam itu sangat
membantu penafsiran pesan yang disampaikan dalam wacana itu.
Namun
kohesi itu belum cukup untuk membantu kita agar dapat sampai pada makna teks
yang dibaca. Tidaklah sulit sebenarnya untuk menciptakan teks yang sangat
kohesif yang memiliki hubungan antar kalimat-kalimatnya, tetapi sulit sekali
untuk dicerna. Perhatikan teks berikut ini mempunya hubungan seperti Sekolah
dasar – sekolah dasar; Candi Borobudur – candi itu; Pulau Jawa – pulau jawa, dan
seterusnya.
(7) Ayahnya
seorang pemilik sekolah dasar. Sekolah dasar yang berada di desa itu roboh
sebelum genap dipakai selama empat tahun. Empat tahun yang lalu ia berwisata ke
Candi Borobudur. Candi Borobudur terletak di tengah-tengah Pulau Jawa. Pulau
Jawa akan dihuni oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Dari
contoh tersebut kita mengetahui bahwa keterikatan yang disertakan dalam
menafsirkan teks tidak saja didasarkan pada hubungan antar kata-kata dalam teks
itu. Pastilah terdapat faktor lain yang menuntun kita untuk membedakan
teks-teks yang berkaitan. Faktor itu biasanya disebut koherensi.
E. Koherensi
Kunci
utama pengertian koherensi tidak terletak pada bahasa yang digunakan, tetapi
juga dalam diri manusia itu sendiri. Manusia mencerna wacana yang dibaca dan
didengar. Mereka mencoba untuk sampai pada suatu penafsiran yang sesuai dengan
pengalaman mereka tentang peristiwa-peristiwa di dunia.
Sebenarnya,
kemampuan untuk mencerna itu merupakan bagian kecil dari kemampuan umum yang
kita miliki untuk mencerna peristiwa yang dialami di dunia ini. Kita tentunya
pernah membaca teks dan mencoba mencocokkan teks itu dengan situasi tau
pengalaman yang dapat menerima semua rincian teks itu. Dalam waktu yang cukup
lama mungkin saja kita dapat menemukan cara untuk merangkai semua elemen
terpisah itu menjadi penafsiran yang koheren. Ketika melakukannya kita harus
terlibat proses pengisian kesenjangan yang ada dalam teks itu. Kita harus
menciptakan hubungan bermakna yang sebenarnya tidak tersuratkan dengan
kata-kata dan kalimat-kalimat teks itu. Proses itu tidak terlepas dari upaya
memahami teks-teks yang ‘aneh’. Pada situasi lain, kita tampaknya perlu
terlibat dalam penafsiran semua wacana.
Keterlibatan
kita untuk menafsirkan semua wacana itu seringkali terjadi dalam percakapan
sehari-hari. Kita terus berperan dalam interaksi percakapan yang mengandung
makna yang tidak tersiratkan dalam apa yang dikatakan. Mungkin itulah kemudahan
yang dapat digunakan untuk menduga maksud lawan bicara kita. Contoh berikut ini
diambilkan dari Widdowson (1978) :
(8) Istri
: Ada telepon, Pak.
Suami :
Saya sedang mandi.
Istri :
Baiklah.
Percakapan
itu tidak mengandung ikatan-ikatan kohesif. Bagaimanakah para peserta
percakapan mencerna ujaran peserta yang lain? Mereka tentu saja menggunakan
informasi yang terkandung dalam kalimat-kalimat yang diungkapkan, tetapi
pastilah terdapat sesuatu yang lain dilibatkan dalam penafsiran wacana itu.
Percakapan
semacam itu akan dapat dipahami dengan baik melalui tindakan-tindakan
konvensional yang dilakukan oleh para pembicara dalam percakapan itu. Apabila
kita menarik konsep yang dihasilkan dari kajian tindak ukur, kita dapat
menguraikan percakapan ringkas di atas dengan cara sebagai berikut :
v Istri meminta suaminya untuk
melakukan sesuatu. (mengangkat gagang telepon).
v Suami mengatakan alasannya mengapa
ia tidak dapat memenuhi permintaan istri.
v Istri melakukan tindakan itu
sendiri.
Jika
analisis itu merupakan analisis logis tentang apa yang terjadi dalam
percakapan, jelaslah bahwa para pemakai bahasa tidak saja memiliki pengetahuan
bahasa, tetapi juga tentang bagaimana interaksi percakapan dapat berlangsung.
Upaya untuk menguraikan aspek-aspek pengetahuan itu telah menjadi titik tekan
penelitian yang dilakukan oleh para ahli wacana.
Dalam
mengupas keterlibatan kita dalam percakapan atau peristiwa tutur yang lain
(misalnya debat, wawancara, dan berbagai macam diskusi), kita dengan cepat
mengetahui bahwa terdapat variasi ujaran dalam situasi yang berbeda. Penguraian
sumber variasi menghendaki sejumlah persyaratan. Misalnya, kita harus
mengkhususkan peranan yang dimainkan oleh pembicara dan pendengar, atau para
pendengar, dan hubungan antara kedua pihak, apakah mereka itu sahabat, orang
asing, muda tua, atau berasal dari status yang sama, dan seterusnya. Semua
faktor itu mempengaruhi apa yang dikatakan dan bagaimana sesuatu itu dikatakan.
Kita harus mengurai topik percakapan dan dalam situasi bagaimana percakapan itu
terjadi. Namun demikian, kita memiliki pengetahuan yang cukup canggih tentang
bagaimana percakapan itu berlangsung.
F. Interaksi
Percakapan
Percakapan
dapat dinyatakan sebagai suatu kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih
secara bergantian. Pada umunya, hanya satu orang saja yang berbicara pada satu
saat tertentu dan cenderung terdapat upaya untuk menghindari suasana hening di
antara pergantian percakapan itu. Dalam budaya bangsa tertentu adakalanya
suasana hening itu malah diciptakan. Jika ternyata lebih dari satu peserta
percakapan itu berusaha mengatakan sesuatu pada saat bersamaan, biasanya salah
satu dari mereka akan berhenti dulu.
Pada
umunya peserta percakapan menunggu sampai seorang pembicara menunjukkan bahwa
dia telah selesai berkata, biasanya dengan memberikan tanda usai (completion
point). Pembicara dapat memberikan tanda usai dengan berbagai cara, misalnya
dengan bertanya atau berhenti pada akhir struktur sintaksis seperti frase atau
kalimat. Sebagian penelitian dalam analisis wacana menunjukkan gaya dan
strategi percakapan yang berbeda dalam interaksi percakapan. Sebagian strategi
itu kadang dinilai ‘tidak sopan’ atau ‘malu’. Satu strategi dirancang untuk
menghindari terjadinya tanda usai, yang biasa dipakai oleh Politisi, juru
dakwah atau penceramah. Para pemakai strategi itu yang disebut terakhir itu
berupaya menggali sebanyak mungkin apa yang akan dikatakannya pada saat sedang
berkata. Cara lain untuk tetap dapat menggunakan kesempatan berbicara ialah
dengan menghindari kedua indikasi itu secara bersamaan, yaitu tidak membuat
jeda pada akhir kalimat, dan kalimat dibuat agar terus mengalir dengan mengalir
dengan menggunakan penghubung dan, kemudian, selanjutnya atau tetapi.
Jeda
itu dapat diletakkan di bagian pesan yang belum tuntas dan istilah jeda itu
dengan penanda seperti ehm, ah, uh. Jeda dalam contoh berikut ini tidak
diletakkan pada akhir tiap-tiap kalimat.
Berita
kekeringan yang dilansir oleh beberapa surat kabar dan televise itu … membuat
naiknya harga beras. Padahal … dalam kenyataannya, wilayah yang mengalami
kekeringan itu … tidak luas …. Daripada yang terjadi tahun 1991. Daerah persawahan
… yang belum dinyatakan puso masih luas. Bahkan …. Penen raya terjadi di
wilayah Mojokerto dan Kalimantan Timur. Beberapa daerah lain … diperkirakan
menyusul.
G. Pengetahuan
Tentang Dunia.
Contoh
yang baik tentang proses yang dilibatkan dalam pemakaian pengetahuan tentang
dunia (knowledge of the world) diberikan oleh Stanford & Garrod
(1981 sebagaimana dikutip oleh Yule, 1985 : 111). Contoh itu dimulai
dengan dua kalimat berikut ini :
v Joni berangkat ke sekolah hari jumat
yang lalu.
v Dia benar-benar cemas dengan
pelajaran matematika.
Kebanyakan
orang diminta untuk membaca kedua kalimat itu melaporkan bahwa mereka
menganggap Joni adalah seorang murid. Oleh karena itu informasi itu tidak
langsung dinyatakan di dalam teks, informasi itu disebut sebagai inferensi.
Aspek inferensi yang menarik ialah referensi merupakan penafsiran yang mudah
hilang dari pembaca jika tidak cocok dengan informasi berikutnya. Pengetahuan
tentang dunia juga dapat digunakan untuk membantu memutuskan tanggapan apa yang
seharusnya diberikan oleh orang yang menafsirkan ujaran penutur.
H. Analisis
Percakapan di Kelas.
Sebagaimana
dikemukakan bahwa analisis wacana juga mencakup analisis percakapan dalam
kelas. Percakapan terjadi dalam interaksi antara pengajar dan pembelajar.
Pengajar biasanya berusaha mengamatai apakah pembelajar mengikuti apa yang
dikatakannya. Oleh karena itulah, dalam peranannya sebagai orang yang berwenang
pada kemampuan para pembelajar, pengajar memakai beberapa jenis fungsi bahasa. Contoh
itu diadaptasi dari Stubbs (1984 : 50-53). Di dalam kelas pengajar
biasanya menggunakan bahasa antara lain untuk menarik perhatian pembelajar,
memantau jumlah perkataan, memeriksa pemahaman, meringkas, mendefinisikan,
menyunting, membenarkan, dan menspesifikasikan topic. Fungsi-fungsi bahasa yang
dipakai oleh pengajar itu dijelaskan secara berurutan sebagai berikut :
1. Menarik
perhatian pembelajar.
Contoh ujaran
yang dipakai oleh pengajar adalah sebagai berikut :
v Jangan menulis dulu, dengarkan saja.
v Baiklah, kita mulai sekarang
v Tunggu. Kita lihat dulu kenyataannya
v (Bertepuk tangan) Bagus, bagus !
v Kamu berdua yang duduk di belakang.
2. Memantau
jumlah perkataan.
Upaya memantau
itu dapat dilakukan dalam bentuk perintah kepada pembelajar untuk mengatakan
atau permintaan agar tidak berbicara. Contoh :
v Kau ingin berpendapat tentang hal
ini?
v Pardi? (jeda panjang) Susi?
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar yea :