Jumat, 04 Februari 2011

Ilmu Kalam


Ilmu Kalam

Ilmu Kalam merupakan salah satu mata kuliah di IAIN Ar-Raniry yang wajib diambil oleh semua mahasiswa pada semester satu. secara sederhana Ilmu Kalam dapat dikatakan sebagai ilmu yang berbicara mengenai aspek-aspek ketuhanan dan sejarah pemikiran dan perdebatan ketuhanan dalam Islam. Silabus ilmu kalam di arahkan pada aspek kajian historis sejarah pemikiran Kalalam dalam Islam. sementara pembahasan mengena konsep ketuhanan lebih banyak dipelajari dalam Ilmu Tawhid.
Arti Ilmu Kalam
Istilah Ilmu Kalam mengacu pada ulama yang membahas masalah-masalah “kalam” Allah. “Kalam Allah” memiliki tiga acuan. Pertama mengacu pada perkataan Allah yang diucapkan-Nya. Disebut ilmu kalam karena ilmu ini membahas masalah kalam Allah. Kedua, mengacu pada para Mutakallimin (ahli kalam) yang berdebat atau bertukar pikiran (kalam) mengenai masalah-masalah ketuhanan. Terlepas dari kedua kecenderungan tersebut, masalah “kalam Allah” memang menjadi pokok pembicaraan dalam ilmu ini.
Ilmu kalam dikenal juga dengan nama lain theologi, ilmu ushuluddin; ‘ilm tawhid dan fiqh al-akbar. Theologi berarti ilmu ketuhanan, yakni cabang ilmu yang mempelajari segala sesuatu mengani Tuhan dan ajarannya. Sebenarnya teologi berbeda dengan ilmu kalam. Teologi hanya dikenal di dunia Kristen yang dihubungkan dengan ilmu agama secara keseluruhan. Teologi disebut sebagai “ilmu Tuhan,” ilmu segala sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan. Maka dalam tradisi Kristen, teologi berbicara tentang berbagai masalah yang menyangkut dengan agama, termasuk di dalamnya bagaimana mengatur masyarakat, menafsirkan bible, dan aspek mistik dalam agama. Sementara dalam tradisi Islam persoalan hukum dan tafsir serta mistik dipelajari terpisah dalam fiqh, tafsir dan tasawuf. Sementara ilmu tentang Tuhan sendiri dalam Islam dipelajari dalam ilmu kalam. Namun demikian, untuk menyederhanakan, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan teologi adalah ilmu kalam itu sendiri.

Ilmu ushuluddin berarti ilmu tentang dasar-dasar agama. Masalah ketuhanan merupakan masalah dasar agama. Agama yang ada dan dianut oleh manusia pada hakikikatnya berasal dari Tuhan. Dan Tuhan-lah yang menjadi pusat dari keseluruhan praktik beragama. Karenanya mempelajari tentang Tuhan akan mendai landasan awal dalam mempelajari agama secara keseluruhan. Sementara ‘ilm tawhid adalah ilmu yang mempelajari tentang keesaan Allah dan tidak ada syarikat bagi-Nya. Tujuan akhir ilmu ini adalah membuktikan keesaan-Nya dengan memberikan berbagai dalil, baik dalil nagli maupun dalil aqli. Ilmu kalam disebut pula dengan fiqh al-akbar. Penyebutan ini mengacu pada klasifikasi keilmuan Islam dalam dua aspek, yakni ilmu-ilmu yang teoritis yang menyangkut keyakinan dan ilmu-ilmu aplikatif yang menyangkut penafsiran dan pelaksanaan agama dalam kehidupan. Ilmu kalam dianggap bagian dari ilmu teoritis yang paling utama dan pertama. Karenanya ia disebut dengan fiqh al-akbar.
Tujuan Mempelajari Ilmu Kalam 

Tujuan utama dari ilmu kalam adalah untuk menjelaskan landasan keimanan umat Islam dalam tatanan yang filosofis dan logis. Bagi orang yang beriman, bukti mengenai eksistensi dan segala hal yang menyangkut dengan Tuhan yang ada dalam al-Qur’an, Hadits, ucapan sahabat yang mendengar langsung perkataan Nabi dan lain sebaganya, sudah cukup. Namun tatkala masalah ini dihadapkan pada dunia yang lebih luas dan terbuka, maka dalil-dalil naqli tersebut tidak begitu berperan. Sebab, tidak semua orang meyakini kebenaran al-Qur’an dan beriman kepadanya. Karenanya diperlukan lagi interpretasi akal terhadap dalil yang sudah ada dalam al-Qur’an tersebut untuk menjelasakannya. Awalnya perbincangan mengenai teologi ini hanyalah debat biasa sebagai diskusi untuk mempertajam pemahaman keislaman, namun lama-kelamaan ia membentuk sebuah kelompok pro-kontra yang berujuang pada kebencian, permusuhan dan bahkan peperangan.
Kemunculan Teologi
Dalam sejarah pemikiran Islam, teologi muncul berawal dari perseteruan politik antara Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Ali ibn Abi Thalib dalam perang Siffin. Tatkala pasukan Mu’awiyah hampir kalah, mereka mengangkat al-Qur’an meminta menyelesaikan masalah antara mereka dengan jalan damai. Mereka sepakat menyelesaikan masalah melalui tahkim atau arbitrase. Arbritase dilakukan dengan sistem utusan. Masing-masing kelompok menunjukkan utusannya untuk berunding. Kelompok Ali menunjuk Abu Hasan al-Asy’ari. Seorang sahabat Nabi yang sudah tua. Sementara golongan Mu’awiyah menunjuk Amr bin ‘Ash yang masih muda dan cerdas. Dalam musyawarah, kedua perwakilan ini sepakat untuk menonaktifka jabatan kekhalifahan dan akan mengadakan pemilihan khalifah ulang. Masing-masing mereka akan menonaktifkan khalifahnya.
Pada waktu dan tempat yang telah ditantukan, Abu Hasan yang sudah tua diberikan kesemptana pertama untuk menonaktifkan Ali. Dan dia melaksanakannya dengan mengumumkan bahwa sejak saat ia bicara maka Ali diberhentikan dari jabatannya sebagai khalifah. Kemudian Amr bin ‘Ash maju dan naik ke podium. Ia mengatakan (kira-kira): “Saudara-saudara tadi Abu Hasan telah menonaktifkan Ali. Sungguh celaka kita sebagai kaum muslimin tidak memiliki khalifah sebagai pemimpin. Oleh sebab Ali sudah dinonaktifkan, maka dengan ini saya nyatakan bahwa Khalifah kita yang baru adalah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan.”
Penyelesaian yang dilaksanakan oleh keduanya dipandang tidak mengikuti hukum Allah oleh sebaian golongan kaum muslimin pengikut Ali (yang kemudian menamakan kelompok mereka dengan Khawarij). Karenanya Mu’awiyah dan Ali dianggap telah berbuat dosa besar, dan karena itu mereka telah kafir dan boleh dibunuh.
Persoalan kafir dan mukmin ini menjadi basis awal perkembangan pemikirian teologi dalam Islam. Munculnya golongan-golongan lain sebagai upaya memberikan penjelasan lebih dalam, filosofis dan menyeluruh mengenai term kafir dan mukmin tersebut. Kemudian seiring dengan perkembangan zaman muncul juga beberapa terma lainnya yang menyangkut dengan sifat Tuhan, kebebasan manusia, kemakhlukan al-Qur’an, posisi akal dan wahyu, keadilan Tuhan dan lain sebagainya.
Pembahasan masalah keimanan dan kebebasan manusia merupakan dua masalah yang diawali oleh persoalan politik tersbut di atas. Sedangkan masalah sifat Tuhan dipengaruhi juga oleh adanya perluasan wilayah Islam sehingga adanya perbedaan bahasa di kalangan umat. Bagi kaum muslimin yang berbahasa Arab mudah memahami makna ketauhidan yang disebutkan dalam al-Qur’an. Tidak demikian halnya dnegan kaum muslimin lain yang ada di luar Arab, selain tidak mengerti bahasa al-Qur’an, mereka juga tidak akrab dengan hadits sebagai tradisi yang diriwayatkan turun-temurun. Karenanya diperlukan suatu penjelasan yang baik untuk menjelaskan pemahaman tauhid tersebut sehingga ketauhidan yang dibangun terbebas dari usur syirik.

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar yea :

SMS Gratis

Cara Buat Widget Ini